فَأَمَّا الإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
Adapun manusia apabila Tuhannya
mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia
berkata:” Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya
lalu membatasi rezekinya maka dia berkata:” Tuhanku menghinakanku”.
Sekali-kali tidak demikian sebenarnya kamu tidak memuliakan anak
yatim, (QS. Al-Fajr : 15-17)
Ayat-ayat diatas menjelaskan tentang
asumsi mayoritas orang dalam dua keadaan yaitu saat kaya dan saat
miskin. Lapangnya rizqi berlimpahnya harta menjadikan seseorang merasa
rela dan senang. Ia menyangka itu pertanda bahwa ia dicintai oleh Allah
Swt, dan merasa bahwa ia teristimewakan dari yang lainnya dan mulia
disisi-Nya. Oleh sebab itu ia mendapat kenikmatan lebih.
Sebaliknya sempitnya rizqi membuatnya
sedih menyangka bahwa itu terjadi karena kehinaan dirinya dihadapan
Allah Swt, menyangka bahwa Dia tidak lagi mencintai dirinya sehingga
dengan sengaja menghendaki kemisikinan serta kehinaan baginya. Hal yang
demikian itu seringkali terlintas dalam benak seseorang.
Al-Qur’an dengan tegas menjawab “Kalla”
(sekali-kali tidak) penegasan bahwa yang demikian itu hanyalah asumsi
tak berdasar muncul dari diri manusia itu sendiri. Kekayaan materi
bukanlah tolak ukur kemulian disisi Allah Swt sebagaimana kemiskinan
bukan pula tolak ukur kehinaan disisi-Ny.
Terkadang orang yang fakir itu mulia dan
memiliki kedudukan serta dekat kepada-Nya. Sebaliknya terkadang orang
yang kaya itu dibenci oleh-Nya serta jauh dari-Nya. Maka tolak ukur
miskin atau kaya dalam menentukan jauh dan dekat, mulia dan hinanya
seseorang disisi Allah Swt adalah khayalan belaka.
Asumsi semacam itu tentunya memiliki
pengaruh negatif bagi kehidupan sosial seseorang. Ketika dominasi asumsi
semacam itu kuat maka pada saat dia menyangka dirinya mulia disisi
Allah Swt ia akan menjadi sombong dan congkak. Sementara saat menyangka
dirinya dibenci oleh-Nya maka ia akan dihinggapi rasa frustasi, putus
asa, bahkan akan menunduh Allah Swt tidak belaku adil.
Pengaruh buruk darinya akan nampak dalam
prilaku sebagaimana keterangan di banyak ayat al-Qur’an. Ketika lapang
baginya rizki dan berlimpa harta maka ia akan melampaui batas:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. al-Alaq : 6-7)
Merasa congkak, lebih mulia dari yang
manusia yang lainnya, membanggakan diri dihadapan mereka dan pada
akhirnya ia akan berlaku lalim dan sewenang-wenang. Sebagaimana
al-Qur’an mencontohkan sosok Qarun dari kaum Nabi Musa as ia berlaku
lalim kepada mereka, Allah Swt memberinya harta yang berlimpah:
مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ
yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (QS. Al-Qashas: 76)
Kunci-kunci tempat penyimpanan harta
berupa emas, perak dan barang-barang berharga yang dimilikinya. Apabila
diangkat bersama-sama oleh para lelaki yang kuat tidaklah mudah, pribadi
itu disebutkan dalam al-Qur’an:
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِه
Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya.(QS. Al-Qashas :79)
Saat berjalan bersama para prajuritnya ia
mengenakan baju yang paling mewah dan menaiki kendaraan yang paling
indah sembari menyombongkan diri.
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ
قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ
مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Maka keluarlah Karun kepada kaumnya
dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan
dunia:” Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai
keberuntungan yang besar”.(QS. Al-Qashas :79)
Kalau kita perhatikan dengan seksama
maka kita akan dapati di dalamnya dua keadaan sebagaimana diatas. Mereka
yang hidup dalam kemiskinan merasa hina, mengagungkan yang kaya, iri
dan berangan-angan seandainya mereka bernasib sepertinya. Karena itu
mereka menghinakan diri mereka dihadapan yang kaya, tunduk kepada para
taghut dan pemilik harta. Demikianlah mereka yang menjadikan harta
sebagai tolak ukur kemuliaan dan kehinaan, yang kaya sewenang-wenang
sementara yang miskin memposisikan diri sebagai kaum lemah yang tunduk
pada sipemilik harta dan berasumsi bahwa jika kelak ia kaya maka ia akan
melakukan hal yang serupa yaitu sombong dan bertindak sewenang-wenang.
Begitulah Qarun dan mereka yang tamak
akan kehidupan dunia. mereka berasumsi bahwa kemulian terdapat pada
harta, pemilik harta adalah pemilik kemuliaan padahal hal itu jelas
bertolak belakang dengan ajaran Ilahi yang menetapkan bahwa hakikat
kemuliaan adalah keimanan dan hikmah. Allah Swt berfirman:
وَمَن يُؤْتَ الحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً
Dan barang siapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (QS.al-Baqarah: 269)
Al-Qur’an menjadikan tolak ukur kemulian
adalah sesuatu yang lain dari apa yang mereka anggap, mari kita lihat
ungkapan mereka orang-orang yang berilmu:
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا
يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ
Berkatalah orang-orang yang
dianugerahi ilmu:” Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah
lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak
diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar”.(QS. Al-Qashash 80)
Apa balasan bagi Qarun dan pengikutnya yang disifati dengan bertubuh kekar dan memilik kekuatan?
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ
فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ
مِنَ المُنتَصِرِينَ
Maka Kami benamkanlah Karun beserta
rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang
menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang
yang dapat (membela) dirinya (QS. Al-Qashash: 81)
Allah Swt menenggelamkan Qarun dan
seluruh kekayaan yang dimilikinya ditelan oleh bumi. Arti ditelan
disini tidak selalu seperti apa yang dialami Qarun, namun juga bermakna
mereka para orang yang kaya yang dihinakan oleh sejarah. Itu adalah
sebagian dari dampak buruk yang lahir dari asumsi yang salah terkait
dengan tolak ukur kemuliaan dan kehinaan.
Al-Qur’an menegaskan bahwa kelapangan
atau kesempitan rizqi bukanlah tolah ukur kemulian atau kehinaan
melainkan itu semua adalah ujian. Pada dasarnya setiap orang itu diuji
baik saat rizqi lapang maupun sempit, selain ujian tidak ada tujuan lain
dari ketetapan lapang atau sempitnya rizqi.
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ
Sesungguhnya Kami telah menjadikan
apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. al-Kahfi : 7)
إِنَّا خَلَقْنَا الإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعاً بَصِيراً
Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya,
karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Insan : 2)
Mampu mendengar, melihat, berjalan,
makan, minum, semua itu adalah ujian. Demikian pula anak, kedudukan dan
semua yang ada dunia ini tidak lain merupakan ujian. Sebaliknya saat
harta tidak ada, kehilangan anak, kehilangan pendengaran, kehilangan
pengelihatan atau sesuatu apapun yang tadinya ada itu merupakan sebuah
ujian. Jangan berasumsi bahwa saat kehilangan itu artinya ujian dan saat
memperoleh itu bukanlah ujian, diberi maupun tidak diberi adalah ujian.
وَ اعْلَمُوا أَنَّما أَمْوالُكُمْ وَ أَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (QS. Al-Anfal : 28)
Maksud dari kata “fitnatun”
dalam ayat tersebut adalah ujian. Asumsi semacam inilah yang harus
tertanam dalam diri setiap mukmin. Oleh karenanya Allah Swt menghendaki
dunia bersifat sementara dan terbatas. Asumsi bahwa semua ini adalah
ujian akan melahirkan semangat untuk selalu berusaha meraih kesempurnaan
dan sampai pada tujuan.
Al-Qur’an menekankan akan hal itu di banyak kesempatan menetapkan bahwa hakikat tolak ukur kemuliaan adalah ketaqwaan.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat :13)
Oleh sebab itulah kita dapati dalam
sejarah bahwa para nabi diuji oleh Allah Swt dengan kemisikinan,
penyakit dll…, Bahkan manusia yang paling banyak mendapat ujian adalah
mereka para nabi dan wali. Jikalau tolak ukur kehinaan adalah
kemiskinan, penyakit atau keadaan yang buruk maka tentunya mereka para
nabi dan wali tidak akan diuji dengan yang demikian. Sementara kita
meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba yang paling dekat kepada Allah
Swt dan yang paling mulia disisi-Nya.
Penting untuk diperhatikan bahwa ketika
seseorang salah dalam menilai apa yang terjadi disekitarnya tidak jarang
mereka berada pada kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Yakni terkadang
ia sampai pada batas kekufuran kepada Allah Swt. Ketika berasumsi bahwa
semua punya harta namun dirinya tidak, semua punya anak namun dirinya
tidak, semua punya pekerjaan namun dirinya tidak, asumsi semacam ini
akan menumbuhkan dalam dirinya rasa putus asa, ragu akan keadilan Allah
Swt.
0 komentar:
Posting Komentar