Kamis, 18 Juni 2015

Urgensi Syarah Hadits

PENGERTIAN

1. Pengertian dan Hakikat Syarah Hadist


Syarah diambil dari kata “syaraha, yasyrahu, syarh” dimana secara bahasa berarti menguraikan sesuatu da memisahkan bagian sesuatu dari bagian yang lainnya2. Dikalangan para penulis kitab berbahasa arab, syarah adalah memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab3.

Syarah tidak hanya terbatas pada penjelasan naskah kitab yang berkutat dengan eksplanasi, melainkan juga uraian dalam arti interpretasi. Dan kenyatannya syarah tidak hanya berupa uraian dan penjelasan tentang suatu kitab secara keseluruhan, tetapi juga bisa merupakan uraian sebagian kitab, bahkan uraian terhadap suatu kalimat dari sebuah hadist itu juga disebut syarah.

Maka yang disebut dengan syarah terhadap kitab tertentu, maka itu adalah uraian atau penjelasan satu ktab secara keseluruhan. Sedangkan apabila dikatakan “syarah hadist” secara mutlak, maka yang dimaksud adalah syarah terhadap ucapan, tindakan, dan ketetapan Rosulilah Saw. Beserta sanadnya4. Disamping itu, syarah tidak harus selalu berbentuk kitab atau karya tulis lainnya,melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna hadist, seperti makalah dan artikel dapat disebut sebagai syarah hadist. Demikian juga uraian dan pejelasan hadist secara lisan dalam proes belajar, pengajian, khutbah, ceramah dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai meng-syarah hadist5.

Berberapa hal yang biasanya terdapat pada kitab syarah selain uraian poko dalam hadist tersebut, diantaranya:

  • Sharf dan I’lal, yaitu penjelasan leksikal yang meliputi penjelasan mengenai bentuk asal suatukata, cara membacanya, dan makna asalanya. Kemudian di jelaskan usl kata tersebut sesuai dengan maknanya.

Berberapa hal yang biasanya terdapat pada kitab syarah selain uraian poko dalam hadist tersebut, diantaranya:
  1. I’rah/nahwu, yaitu penjelasan gramatikal yang meliputi penjelasan mengenai posisi suatu kata tertentu dalam struktur suatu  kalimat dan hubungan satu kalimat dengan kalimat lain sebelumnya.
  2. Balaghah dengan beragai cabangnya, yaitu penjelasan mengenai keindahan suatu kalimat, kedalamnnya, dan keluasan maknanya, serta rahasia makna yang terkandung didalamnya. Penjelasan yang demikian biasanya ditemukan sehubungan dengan ayat al-Quran, matan hadist, kata-kata hikmah dan syair.
  3. Keterangan yang dikutip dari berbagai kitab lain atau pendapat lain yang berfungsi secagai bahan pertimbangan.
  4. Uraian makna kalimat yang disyarah, sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan.
  5. Kisah da cerita yang terkait, baik biografi seorang tokoh, maupun kisah klasik yang mengandung pelajaran.

Muhthaaafa bin Abdullah Al-Qashanthini al-Rumi al-Hanafi mengklasifikaskan teknik penulisan syarah sebagai berikut:
  1. Menandai teks syarah dengan tanda “aqulu”, yakni menyatukan letak teks matan  dengan teks syarah dan membedakannya dengan menyatakan “aqulu” atau “ qala al-mushannif” untuk mengakhiri teks matan atau menjelang teks matan. Dalam teknik ini hadis yang disyarah ditulis lagi secara utuh dengan terpisah, namun kadang juga tidak.
  2. Menandai teks syarah dengan kata “qawluhu”. Yakni memisahkan teks matan dengan teks syarah, seperti teks matan berada di luar garis margin atau diatas garis pemisah, lalu bagian-bagian yang akan disyarah dikutip dan mengawalinya dengan kata “qawluhu”. Dalam teknik ini teks matan yang disyarah ditulis dengan lengkap dan terpisah dengan syarah.
  3. Syarah mamzuj, yaitu menyatukan teks matan dengan teks syarah dan membedakan dengan hurup mim dan syin atau dengan kata …………….. diatas diawal teks matan.Kemudian teknik pemisahan diganti dengan 2 tanda kurung, yaitu teks matan berada di dalam kurung, sedangkan teks syarah berada di dalam kurung.
Jadi hakikatnya syarah hadist adalah menguraikan ucapan, tindakan, dan ketetapan Rosulillah Saw. Sehingga menjadi lebih jelas, baik menggunakan bahasa arab maupun bahasa lainnya. Bahkan dlaam hal ini syarah adalah menjelaskan sanad yang mengantarkan ucapan, tindakan, dan ketetapan tersebut hingga sampai ketangan para penulis hadist, sehingga jelas identitas dan kulitas moral serta intelektual para rawi yang terangkai di dalamnya. Mengsyarah hadist berarti berkata atas nama Rosulillah Saw. agar ucapan, tindakan, dan ketetapan beliau lebih bisa dimengerti maksudnya dan dapat terhindarkan dari kesalahpahaman terhadapnya6.


  • Latarbelakang Perlunya Syarah Hadist.
Kegiatan mensyarah hadist sebenarnya sudah ada sejak zaman Rosulillah, ini terbukti dnegna apa yang sering Rosulillah lakukan yaitu menjelaskan kembali sehubungan dengan pernyataan sebagian sahabat mengenai ucapan maupun tindakan beliau yang belum jelas bagi mereka.
Dari kejadiakn tersebut bisa dimaklumi jika kemudian generasi setelah para sahabat sangat memerlukan ilmu syarah hadist untuk menjelaskan semua hal yang telah samapi kepada mereka, dimana pada generasi setelah sahabat, Rosulillah sudah wafat.

Dalam hal ini, ada 4 perkara yang melatarbelakangi perlu adanya sysrah hadist adalah;
  1. Karakter kalimat yang digunakan dalam ucapan Rosulillah banyak yang hal sangat mirip dengan karakterkalimat dalam Allah Swt.
  2. Tidakan Rosupipah Saw yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadist dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan tidak senantiasa berkaitan dengan petunjuk wahyu.
  3. Hadist merupakan sumber ajaran agama Islam. Maka untuk memahaminya dilakukanlah syarah.
  4. Umat Islam diwajibkan untuk berpegang teguh kepada sunnah Rosulillah Saw, namun  kondisi umat Islam sekarang ini pad aumumnya tidak mampu memahami hadist secara langsung, karena untuk memahami hadist dibutuhkan secara langsung dibutuhkan sejumlah ilmu pendukung
  5. Kegunaan syarah hadist.
Jika dilihat dari urgensi pemahaman hadist yang benar kepada kalangan umat ssekarang ini, maka keugaan ilmu syarah hadist adalah sebagai berikut:
  1. Menyampaikan amanah dan menyebarluaskan sunnah Rosulillah.
  2. Menghidup-hidupkan dan melestarikan sunnah Rosulillah Saw.
  3. Menghindarkan kesalahpahaman terhadap maksud hadist.

  • Hukum mensyarah hadist
Dari paparan diatas  mengenai pentingnya syarah hadis untuk kepentingan da kebaikn umat Islam pada generasi selanjutanya maka hukum Syarah hadist itu Fardhu kifayah.
Hal ini bisa dilakukan apabila mereka telah menyadari kewajiban tersebut. Sedanagkan bila meraka tidak menyadarinya, maka kewajiban tersebut menjdai beban orang-orang yang mengetahuinya saja, termasuk apabila yang mengetahuinya hanya satu orang saja, sehinggga menjadi fardhu ‘ayn.

  • Sejarah perkembangan Syarah Hadist
Para ulama membuat periodisasi sejarah perkembangan hadist dan ilmunya bedasarkan sejumlah kategori fakta-faktanya, sehingga periodisasi yang mereka buat tidak lagi seragam. Sebagian penulis melakuakn periodesasi sejarah perkemabangan hadis dengan membaginya menjadi tujuh, yaitu (1) kelahiaran hadist hingga Rosulillah Saw wafat; (2) pembatasan riwayat, tahun 12 H sampai dengan 40 H; (3) perkembangan periwayatan dan perlawatan mencari hadis, sejak 41 H samapi akhir abad ke -1 H; (4) pembukuan hadist, selama aba dke-2 H; (5) penyaringan dan seleksi hadis, selama abad ke-3 H; (6) perhimpunan hadist-hadist yang terlewatkan, sejak awal abad ke-4 H sampai tahun 656  H; (7) penulisan kitab-kitab syarah, kitab-kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ketujuh Hijriah.

  • Sumber dan sifat Syarah
Sumber hukum syarah hadist adalah Rosulillah Saw, atau syarah hadist dengan hadist. Pada periode berikutnya berikutnya pensyarahan hadist dilakukan oleh para sahabat dan generasi-generasi setelahnya.
Istilah syarah hadist dengan hadist dapat dipahami sebagai penjelasan Rosulillah Saw. terhadap ucapan beliau sendiri secara langsung dan dapat dipahami sebagai syarah hadist dengan berdasarkan pemahaman terhadap hadist lain. Sumber syarah hadist juga bisa dari keterangan para sahabat aatu generasi berikutnya yang mana memang memiliki keahlian pad bidang hadist yang disyarahnya. Suber syarah hadit juga bisa dari hasil pemikiran melalui berbagai pendekatan.

  • Ketentuan Umum Syarah Hadist
Dalam mensyarah ada ketentuan-ketentuan yang haus dilakukan oleh semua yang akan mensyarah hadist suatu hadits, baik hadis qawli maupun fi’li, yaitu:
  1. Apabila hadis yang akan disyarah itu diriwiyatkan melalui jalur sanad yang lebih dari satu atau terdapat pada beberapa kitab, maka tidak cukup hanya berpegang kepada satu riwatayat, tanpa memperhatikan riwayat lain sama sekali, melalinkan sedapat mungkin seluruh riwayat tersebut ditelaah untuk kemudian ditetapkan salah satunya sebagai hadis pokok yang disyarah, lalu hadis yang lain disinggung dalam sayarah sebagai data pendukung. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
  2. Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun periwayatannya berbeda-beda pada setiap sanad-sanadnya salaing menguatkan.
  3. Apabila tema hadis-hadis tersebut sama, namun namun kata-katanya berbeda, baik dari sisi I’rabnya maupun sharafnya, maka kata-kata yang berbeda dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan makna dan dalam mensyarahnya.
  4. Apabila tema hadis-hadis tersebut  sama, namun pada sebagian riwayat terdapat tambahan sejumlah kata atau kalimat, atau bahkan dalam sebagian riwayat digabungkan dengan tema-tema lain atau disertai sabab al-wurud, maka kata-kata tambahan tersebut apabila terdapat pada riwayat orang-orang yang paling tsiqat, dapat diterima.
  5. Apabila perbedaan di antara riwayat-riwayat tersebut sangat jauh, hingga tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut dinilai mukhtalif dan diselesaikan dengan tarjih, nasakh, atau cara yang lain lagi.
Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang lain perlu disinggung, meskipun tidak dikutip seutuhnya. Langkah ini merupakan tradisi para pensyarah hadis.
  1. Apabila tema hadis yang akan disyarah berkaitan dengan sejumlah hadis yang berlainan bentuknya, yaitu hadis qawli dan hadis fi’li, baik yang searah maupun yang bertentangan, maka teknik pensyarahannya dapat digabungkan dengan penggabungan kedua metodenya.

  1. Metode Pemahaman Syarah Hadist
  2. Metode syarah Tahliliy (Analisis)
Secara etimologis kata tahlili berasal dari kata حل (halla) yang berarti menguraikan, membuka Sedangkan kata tahlili sendiri adalah bentuk masdar dari kata حلل (halala), yang secara semantik berearti mengurai, menganalisis, menjelaskan, menjelaskan bagian-bagiannya serta fungsinya masing-masing.

Adapun pengertian secara terminologis, Metode Syarh Tahlili adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecendrungan dan keahlian pensyarah. Model pensyarahan hadis dengan metode Tahlili, seorang pensyarah hadis mengkuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah. Pensyarah hadis memulai penjelasannya kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya latar belakang turunnya hadis (bila ditemukan), kaitannya dengan hadis lain dan pendapat – pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis

Ada dua bentuk pensyarahan dengan menggunakan metode tahlili, Pertama, berbentuk ma’sur (riwayat). Syarah yang berbentuk ma’sur ini ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in atau ulama’ hadis dalam penjelasan terhadap hadis yang disyarahi. Kedua, ra’y (pemikiran Rasional). Pensyarahan ini banyak didominasis pemikiran pengsyarahnya.

Jika kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili, baik yang berbentuk ma’sur atau ra’y di cermati dapat diketahui ciri-ciri pensyarahan yang dilakukan mengikuti pola menjelaskan makan yang terkandung dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh yakni mengunakan metode sebagai berikut:
  1. Hadist dijelaskan kata demi kata
  2. Hadist dijelaskan kalimat demi kalimat secara beruntun
  3. Menerangkan sabab al-wurud (latar belakang turunnya sebuah hadis) hadis yang dipahami jika hadist tersebut memiliki sabab al-wurud.
  4. Diuraikan pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh sahabat, tabi’i, tabi al-tabi’in, dan para ahli syarah hadist lainnya dari berbagai displin ilmu.
  5. Dijelaskan munasabah (hubuangan) hadist satu dengan hadist yang lainnya.
  6. Kadangkala pengsyarahan di warnai kecenderunga terhadpa madzhab tertentu.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode syarah tahliliy antara lain sebagai berikut;
No Nama Kitab Pengarang
1 Fathul al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari Ibn Hajar al-Asqalani
2 Irsyad al-Sarili Syarh Sahih al-Bukhari Al-Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qastalani
3 Al-Kawakib al-Darari fi Syarh Sahih al-Bukhari Syams al-Din Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmani
4 Syarh al-Zarqani ‘ala Muwatta’ al-Imam Malik Muhammad bin Abd al-Baqi’ bin Yusuf al-Zarqani

Metode Syarh Tahlili memiliki kelebihan dibanding metode syarh lainnya, kelebihan yang dimiliki metode ini antara lain:
  1. Ruang lingkup pembahasan metode tahlili sangat luas, karena dapat mencakup berbagai aspek: kata, frasa, kalmat, asbab al-wurud, munasabah, dan lain sebagainya yang dapat digunakan dalam bentuk yang ma’thur.
  2. Metode ini memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarh untuk menuangkan sebanyak mungkin ide atau gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulam’
Selain memiliki kelebihan dibanding metode lain, ternyata metode ini memiliki kekurangan. Ada pun kekuarangan metode ini adalah:
  1. Metode ini menjadikan seolah-seolah hadis memberikan pedoman yang tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah yang dibrikan pada sebuah hadis berbeda dengan syarah yang diberikan pada hadis lain yang sama karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
  2. Dalam kitab syarah yang menggunakan metode ini, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadis secara subyektf, dan tidak mustahil pula ada diantara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma yang berlaku. Di dalam pensyarahan al-Asqalani sebagaimana dikutip di atas, misalnya, terkesan dipengaruhi oleh sikap subyektifnya sebagai ulama’ hadis, tanpa memberikan pendapat yang harus dipegang sesuai dengan data yang terdapat dalam kitab yang disyarah. Selain itu pensyarah juga menunjukan kecenderungannya dengan mazhab Syafi’iy
  3. Metode syarah Ijmaliy
Ijmaliy secara etimologis, berarti global. Sehingga syarh ijmaliy diartikan syarh global. Secara terminologis metode syarh ijmaliy adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kutub al-sittah secara ringkas, tetapi dapat merepresentasikan makna literal hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami. Kalau dibandingkan dengan metode tahliliy Metode ini tidak berbeda dalam menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis, namun dalam memberikan penjelasan metode ini sangat mudah dipahami oleh pembaca, baik dari kalangan intelek maupun orang awam, karena uraian penjelasanya ringkas dan tidak berbelit-belit.
ciri-ciri metode ini adalah sebagi berikut:
  1. Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
  2. Penjelasan yang diberikan bersifat umum dan sanagt ringkas
  3. Pada hadis tetentu diberikan penjelasan yang luas tapi tidak seluas penjelasan dengan metode tahliliy mengetahui ciri-ciri syarah ijmaliy lebih baik, perhatikan syarah yang terdapat dalam kitab Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad bin Asyraf bin Ali Haidar al-sissiqi al-azim abadi.
Kelebihan dari metode ini adalah:
  1. yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat mudah diserap oleh pembaca.
  2. Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatanya secara pribadi
Kekurangan metode syarah Ijmaliy diantaranya:
  1. Menjadi petunjuk hadist bersifat parsial Antara hadis satu dengan hadis yang lain kadang-kadang memlki hubungan yang sangat erat sekali, sehingga apabila hadis dipahami secara tersendiri maka mengakibatkan pemahaman yang terpecah, tidak dalam satu pemahaman.
  2. tidak ada ruang untuk melakukan analisis yang memadai
    Metode ini tidak menyediakan ruang yang memuaskan berkenaan dengan waca pluralitas pemahaman suatu hadis. Oleh karena itu metode ijmaliy tidak bisa diandalkan untuk menganalisis pemahaman secara detail.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode syarah Ijmaliy antara lain sebagai berikut;
No Nama Kitab Pengarang
1 Syarh al-Suyuthi lil Sunan al-Nasa’i Jalal al-Din al-Suyuthi
2 Qut al-Mughtazi ‘Ala Jami’ al-Turmuzi Jalal al-Din al-Suyuthi
3 ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud Muhammad bin Asyrafbn Ali Haidar Al-Siddiqi al-‘Azim al-Abadi

  • Metode syarah Muqarin
Kata Muqarin, secara etimologis, merupakan bentuk isim fa’il dari kata qarana, berarti membandingkan antara dua hal. Dengan demikian Syarah muqarin secara etimologis berarti syarh perbandingan. Adapun pengertian Syarh Muqarin secara terminologis adalah metode memahami hadist dengan cara:
  1. membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.
  2. membandingkan bebagai pendapat ulama’ syarah dalam mensyarah hadis
    Pensyarahan hadis dengan menggunakan metode muqarin ini dimulai dengan menjelaskan pemakaian kosa kata, urutan kata, maupun kemiripan redaksi.
    Jika yang dikehendaki membandingkan kemiripan redaksi, maka langkah yang ditempuh adalah
    1. Mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan
    2. memperbandingkan antara hadis yang redaksinya bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
    3. menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip.
    4. Membandingkan pendapat para pensyarah
ini memiliki beberapa ciri yang membedakan dengan metode Syarah lainnya. Adapunciri-cirinya sebagai berikut:
  1. Pensyarah menggunakan perbandingan analisis redaksional
  2. Pensyarah menggunakan perbandingan penilaian perawi.
  3. Pensyarah membandingkan kandungan makna dari masing-masing hadis yang dibandingkan.
  4. membandingkan berbagai hal yang yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
  5. Pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti asbab al-wurud, pemakaian kata dan susunannya, konteks masing-masing hadis tersebut muncul dan sebagainya. Meskipun yang dibandingakan hadis dengan hadis pensyarah perlu pula meninjau pendapat yang dikemukakannya berkenaan dengan hadist itu.
Adapun aspek kedua, yaitu perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek , baik menyangkut kandungan kandungan (makna) hadis maupun korelasi (munasabah) hadis dengan hadis[34].
Untuk lebih mudahnya perhatikan contoh syarah dengan metode Muqorin yang disadur dari kitab ‘Umdat al-Qariy Sharh Sahih al-Bukhari karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Aini.
Yang paling identik dari metode ini adalah:
  1. Nuansa perbandingan sangat kental.
  2. Adanya perbandingan dalam matan hadis.
  3. Adanya perbandingan pendapat para ’ulam.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain :
  1. Memberikan wawasan lebih luas.
  2. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain
  3. Sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
  4. Pensyarah didorong untuk mengkali berbagai hadis serta pendapat-pendapat pensyarah lainnya.
Selain kelebihan, dibawah ini adalah:
  1. Tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula. Karena pembahsannya terlalu luas sehinggasulit bagi meraka untuk menentukan pendapat.
  2. Tidak dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan sosial. Karena metode ini lebih mengedapakan pebandingan dari pada perpecahan.
  3. Lebih banyak menelusuri pendapat ulama daripada mengemukakan pendapat baru

Kitab-kitab syarh hadis yang menggunakan metode Muqarin antara lain sebagai dalam tabel berikut:
No Nama Kitab Pengarang
1 Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi Imam Nawawi
2 ‘umdah al-Qari’ Syarh Sahih Bukhari Badr al-Din  Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-‘Aini

  • Metode syarah Mawdhu’iy (tematik)
Kata Maudhu’Iy dinisbatkan pada kata al-mawdhu’, berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Secara semantik Syarah Mawdhu’I berarti menjelaskan Hadis menurut tema atau topik tertentu. Contoh kitab syarah hadis yang menggunakan metode syarah Mawdhu’I salah satunya adalah bulughu al-maram.
Ciri-ciri syarah hadis dengan menggunakan Metode Mawdu’iy adalah pensyarah menjelaskan hadist dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Menentukan topik bahasan setelah menentukan batasan-batasan dan mengetahui jangkauannya.
  2. Menghimpun dan menetapkan hadis-hadis yang menyangkut masalah tersebut.
  3. Kajian Syarah ini memerlukan kajian syarah analisis, pengetahuan asbabul wurud, dan penegtahuan tentang dilalah suatu lafal dan penggunaannya.
  4. Menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna, dan utuh.
  5. Melengkapi penabahasan dan uraian dengan ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan pembahasan
  6. Mempelajari semua hadis yang terpilih dengan jalan menghimpun hadis-hadis yang sama pengertiannya; mengkompromikan antara yang umum dan khusus, mutlaq muqayyad; atau yang kelihatan kontradiktif, sehingga bertemu dalam satu tujuan tanpa ada perbedaan dan pemaksaan dalam pensyarahan hadis.
Metode Syarah Mawdhu’I ini memiliki kelebihan dibanding metode syarah yang lainnya, antara lain:
  1. Dipridiksi mampu menjawab tantangan zaman.
    Perubahan zaman merupakan sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Seiring dengan berubahnya zaman semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi masyrakat. Dengan model pensyarahan ini, pemahaman tentang suatu permasalahan dapat dipahami secara komprehensif karena seluruh hadis yang berhubungan dengan permasalahan disajikan, sehungga tidak didapatkan kontradiktif dengan hadis lain yang berhubungan dengan permasalahan tersebut.
  2. Praktis dan sistematis Model ini dinilai praktis dan sistematis karena mudah untuk memahami suatu permasalahan dan tersusun sesuai dengan tema-tema permasalahan tertentu
  3. Memunculkan sikap dinamis dalam mensyarahi hadis
    Karena menyajikan hadis-hadis yang berhubungan dengan permaslahan maka dalam pensyarahannya masih terdapat ruang untuk berijtuhad lagi yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
  4. Dalam metode ini seluruh hadis yang berhubungan dengan permasalahan disajikan sehingga dapat piperoleh pemahamn yang utuh tidak parsial sebagaimana metode Tahliliy
Selain memiliki kelebihan sebagaimana uaraian di atas, harus diakui juga, bahwa metode ini juga. Memiliki kekurangan antara lain:
  1. Metode ini banyak melakukan pemenggalan hadis.
  2. Membatasi pemahaman hadist.
Hal ini disebabkan metode ini hanya mengambil bagian-bagian tertentu saja dari hadis yang berhubungan dengan pembahasan.
  1. Kritik hadist sebagai suatu bahan perbandingan
Para ulama dalam melakukan penelitian hanya berkosentrasi pada dua pertanyaan; Pertama, apakah perawi tersebut layak dipercaya, atau kedua, apakah perawi tersebut tidak pantas dipercaya. Untuk meneliti isnad/sanad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter berbagai pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda. Sanad juga untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, sedangkan untuk menguji keaslian hadis diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan, dan juga diperlukan kajian terhadap hubungan lafadz matn di hadis-hadits yang lain(15) (beberapa di antaranya memilki kesamaan atau bertolak belakang dengan matn tersebut). Matn hadis yang sudah sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya tidak siqat (adil dan Dhabit).
Singkatnya studi sanad hadis berarti mempelajari rangkaian perawi dalam sanad, dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum, dan sebab- sebab kuat dan lemah secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqati’nya perawi.
Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah; (1) nama perawi, (2) lambang-lambang periwayatan hadis, misalnya; sami’tu, akhbarāni, ‘an dan annă.. menambahkan hal itu menurut Bustamin, sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu (1) perawi harus berkualitas siqat (‘adil dan dhabit); (2) masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsini, akhbimi, qala lana, dhakaran.
Sebagai langakh lanjut untuk mengadaakn penelitian/kritik hadis pada bidang materi/matn paling tidak menggunakan criteria sebagi berikut:
  1. Ungkapanya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak pernah diucapkan oleh orang yang mempunyai apresiasi sastra yang tinggi/fasih.
  2. Tidak menyalahi orang yang luas pandanganya/pikiranya, sebab sekiranya menyalahi tidak mungkin ditakwil.
  3. Tidak menyimpang dari kaedah umum dan akhlak
  4. Tidak mengayalahi perasaa dan pengamatan
  5. Tidak menyalahi cendekiawan dalam bidang kedokteran dan filsafat.
  6. Tidak mengandung kekerdilan, sebab syariah jauh dari sifat kerdil.
  7. Tidak betentangan dengan akal sehubungan dengan pokok kaidah, termasuk sifat-sifat Allah dan rosulnya.
  8. Tidak bertentangan dengan sunnatullah mengenai alam semesta dan kehidupan manusia.
  9. Tidak mengandung sifat naif, sebab orang berakal tidak pernah dihinggapinya.
10.  Tidak menyalahi al-Quran dan As-sunnah
11.  Tidak bertentangan dengan sejarah yang diketahui umum mengenai zaman Nabi.
12.  Tidak menyerupai mazdhab rawi yang ingin benar sendiri.
13.  Tidak meriwayatkan suatu keadilan yang dapat disaksikan orang banyak, padahal riwayat tersebut hanya disaksikan oleh seorang saja.
14.  Tidak menguraikan riwayat yang isinya menonjilkan kepentingan pribadi.
15.  Tidak mengandung uraian yang isinya membesar-besarkan pahala dari perbuatan yang minim dan tidak mengandung ancaman besar terhadap perbutan dosa kecil.
Jadi sebenarnya sejarah penelitian sanad sudah ada sejak jaman sahabat, misalnya ada hadis yang dikeluarkan seseorang, maka para sahabat akan mengecek siapa yang meriwayatkan hadis itu, bagaimana keadaan orang itu dan kualitas hafalan serta tinggkahnlakuanya, karena hal itu akan mempengaruhi kealitas hadis. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar Ibn Khattab, beliau mengatakan:” kami dengan seoarang tetangga dari golongan Ansar di kampung Bani Umayyah ibn Zaid di pinggir (‘awaly) kota madinah saling bergantian untuk mengikuti majlis ta’lim yang diadakan oleh nabi. Apabila dia yang ikut aku beritahukan tentang hal-hal yang diajarkan Rasulallah, baik berupa wahyu dan lainya. Dan apabila aku yang ikut majlis pegajian tersebut aku yang memberitahukan isi perjanjian tersebut kepadanya.
Cikal bakal ilmu jarh wa Ta’dil telah terjadi sejak masa sahabat, guna menjaga kaedah-kaedah agama dan syariat. Sekalipun ada perbedaan meode yang digunakan para sahabat dengan para ulama jarh wa ta’dil. Para sahabat tidal melakukan jarh (pencelaan/ pencacatan ) kepada sahabat lain, tetapi sebagai tindakan hati-hati. (Ihtiyat) terhadap informasi yang diterima dan untuk menyakinkan kebenaran dari informasi tersebut. Metode yang digunakan oleh para sahabat adalah “kesaksian” dari sahaba lain yang mendengar hadis tersebut. Metode ini di pelopori oleh Abu Bakar As-siddiq.

KESIMPULAN

Dari pembahahasan diatas maka bisa di simpulkan bahwa syarah hadist adalah menguraikan sesuatu dan memisahkan bagian sesuatu dari bagian yang lainnya. Dikalangan para penulis kitab berbahasa arab, syarah adalah memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matn (matan) suatu kitab. Dan syarah ini sudah ada sejak masa Rosulillah.
Syarah tidak harus selalu berbentuk kitab atau karya tulis lainnya,melainkan bisa juga secara lisan. Oleh karena itu, karya tulis yang menguraikan dan menjelaskan makna hadist, seperti makalah dan artikel dapat disebut sebagai syarah hadist. Demikian juga uraian dan pejelasan hadist secara lisan dalam proes belajar, pengajian, khutbah, ceramah dan sejenisnya bisa juga disebut sebagai meng-syarah hadist.
Dan setiap hadist yang disyarah biasanya sering dikritik oleh sebagian orang. Tujuan pengkritikan itu sebenarnya untuk bahan uji pembanding dan pengoreksi dari apa yang suddah diriwayatkan oleh para perawi.

0 komentar:

Posting Komentar