Jumat, 19 Juni 2015

Tauhid Al-Asma Wa Ash-Shifat

Makna tauhidul asma wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya) adalah meyakini secara mantap bahwa Allah swt. menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan, dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya.

Caranya adalah dengan menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah saw dengan tidak melakukan tahrif (pengubahan) lafazh atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau sebagian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan kondisinya, dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk.

Dari definisi di atas, jelaslah bahwa tauhidul asma wash-shifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Ketiga asas itu adalah:

1. menyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segala kekurangan.

2. mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mengurangi atau menambah-nambahi dan tanpa mengubah atau mengabaikannya.

3. menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah (kondisi) sifat-sifat itu.

Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya, ini didasarkan pada firman Allah swt.:

“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya. ” [QS. Al-Ikhlash (112): 4]
“Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah.” [QS. An-Nahl (16): 74]

Al-Qurtubi, saat menafsirkan firman Allah, ”Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apapun, ” mengatakan, ”Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah swt., dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifat-Nya, tidak satu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupakan dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat disandangkan kepada Pencipta dan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya berbeda meskipun lafazhnya sama. Sebab, sifat Allah Yang Tidak Berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.

Al-Wasithi mengatakan, ”Tidak ada Dzat yang sama dengan Dzat-Nya; tidak ada nama yang sama dengan nama-Nya; tidak ada perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya; tidak ada sifat yang sama dengan sifat-Nya kecuali dari sisi lafazhnya saja. Maha Suci Dzat Yang Qadim dari sifat-sifat makhluk. Sebagaimana adalah mustahil makhluk memiliki sifat-sifat Pencipta. Dan, inilah mazhab para pemegang kebenaran, yakni Alus Sunah Wal Jama’ah.

Sayyid Qutb mengatakan, saat menafsirkan ayat tersebut di atas, ”Fitrah pasti akan mengimani hal ini. Bahwa Pencipta segala sesuatu tidak akan dapat disamakan dalam hal sekecil apa pun oleh makhluk-Nya.”
Dan masuk dalam asas pertama ini, menyucikan Allah swt. dari segala yang bertentangan dengan sifat yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau dengan sifat yang disandangkan oleh Rasulullah saw. Jadi mengesakan Allah dalam hal sifat-sifat-Nya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah tidak mempunyai istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi’ (pemberi syafa’at), kecuali atas izin-Nya. Dan juga menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kekurangan lainnya.

Adapun asas kedua, mewajibkan kita untuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan wahyu, bukan logika. Jadi, tidak boleh menyandangkan sifat atau nama kepada Allah kecuali sejauh yang ditetapkan oleh Allah untuk Dirinya atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. Sebab Allah swt. Maha Tahu tentang Dirinya, sifat-sifat-Nya ,dan nama-nama-Nya. Ia berfirman:

“Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah?” [QS. Al-Baqarah (2): 140]

Nah, bila Allah yang lebih mengetahui tentang Dirinya dan para Rasul-Nya adalah orang-orang jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya, pasti mereka tidak akan menyampaikan selain dari apa yang diwayukan oleh-Nya kepada mereka. Karenanya, dalam urusan mengukuhkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah wajib merujuk kepada informasi dari Allah dan Rasul-Nya. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, ”Tidak boleh menyandangkan sifat kepada Allah selain dari apa yang disandangkan oleh Dirinya sendiri atau oleh Rasul-Nya; tidak boleh melangkahi Al-Qur’an dan Al-Hadist.”
Nu’aim bin Hammad, guru Imam Al-Bukhari, mengatakan, ”Barangsiapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barangsiapa menolak sifat Allah yang disandangkan-Nya untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasul-Nya, maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasul saw. tidak ada kesamaan atau kemiripan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.”

Adapun asas yang ketiga menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai manakala mengetahui kaifiyyah Dzat. Karena sifat-sifat itu berbeda-beda, tergantung pada penyandang sifat-sifat tersebut. Dan Dzat Allah tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-Nya. Maka, demikian pula sifat-sifat-Nya, tidak boleh dipertanyakan kaifiyyah-Nya.

Karenanya, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa (cara Allah bersemayam) mereka menjawab, ”Istiwa itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya (istiwa) adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.” Jadi, kaum salaf sepakat bahwa kaifiyyah istiwa itu tidak diketahui oleh manusia dan bertanya tentang hal itu adalah bid’ah.

Jika ada seseorang bertanya kepada kita, ”Bagaimana cara Allah turun ke langit dunia?” Maka kita tanyakan kepadanya, “Bagaimana Dia?” Jika ia mengatakan, ”Saya tidak tahu kaifiyyah Dia.” Maka kita jawab, “Makanya kita tidak tahu kaifiyyah Dia. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat harus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifati itu. Karena, sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang disifati. Jadi, bagaimana Anda menuntut kami untuk menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, berbicara, istiwa, padahal Anda tidak tahu bagaimana kaifiyyah Dzat-Nya. Maka, jika Anda mengakui bahwa Allah adalah wujud yang hakiki yang pasti memiliki segala sifat kesempurnaan dan tidak ada yang menandinginya, maka mendengar, melihat, berbicara, dan turunnya Allah tidak dapat digambarkan dan tidak bisa disamakan dengan makhluk-Nya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhidul asma wash-shifat ini dapat rusak dengan beberapa hal berikut:

1. Tasybih.
Yakni menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih bin Maryam dengan Allah swt; orang Yahudi menyerupakan ‘Uzair dengan Allah; orang-orang musyrik menyerupakan patung-patung mereka dengan Allah; beberapa kelompok yang menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk, tangan Allah dengan tangan makhluk, pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk, dan lain sebagainya.

2. Tahrif.
Artinya mengubah atau mengganti. Yakni mengubah lafazh-lafazh nama Allah dengan menambah atau mengurangi atau mengubah harakah i’rabiyyah, atau mengubah artinya, yang oleh para ahli bid’ah diklaim sebagai takwil, yaitu memahami satu lafazh dengan makna yang rusak dan tidak sejalan dengan makna yang digunakan dalam bahasa Arab. Seperti pengubahan kata dalam firman Allah wa kallamallahu musa taklima menjadi wa kallamallaha. Dengan demikian, mereka bermaksud menafikan sifat kalam (berbicara) dari Allah swt.

3. Ta’thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi).
Yakni menampik sifat Allah dan menyangkal keberadaannya pada Dzat Allah swt., semisal menampik kesempurnaan-Nya dengan cara membantah nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan ibadah kepada-Nya, atau menampik sesuatu sebagai ciptaan Allah swt, seperti orang yang mengatakan bahwa makhluk-makhluk ini qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah mencipatkan dan membuatnya).

4. Takyif (mengkondisikan) menentukan kondisi dan menetapkan esensinya.
Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melakukan tasybih, tahrif, ta’thil dan takyif ini merupakan mazhab salaf, yakni kalangan sahabat, semoga Allah meridhai mereka semua, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in.

Asy-Syaikani mengatakan, “Sesungguhnya, mazhab salaf, yakni kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in, adalah memberlakukan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah sesuai dengan zhahirnya tanpa melakukan tahrif, takwil yang dipaksakan, dan tidak pula ta’thil yang mengakibatkan terjadinya banyak ta’wil. Dan jika mereka ditanya tentang sifat-sifat Allah, meraka membacakan dalil lalu menahan diri dari mengatakan pendapat itu dan ini, seraya mengatakan, Allah mengatakan demikian dan kami tidak mengetahui lebih dari itu.

Kami tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak kami ketahui dan apa yang tidak Allah izinkan untuk kami lampaui. Jika si penanya itu menginginkan penjelasan melebihi dari yang zahir, maka mereka segera melarangnya agar tidak menenggelamkan dalam hal yang tidak berguna dan mencegah dari mencari apa yang tidak mungkin mereka capai selain terjerumus dalam bid’ah dan dalam hal yang tidak diajarkan Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in. Dan pada masa itu, pendapat tentang al-asma wa ash-shifat adalah satu. Dan cara memahaminya juga sama.

Kesibukan mereka saat itu adalah melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan tugaskan kepada mereka untuk dilaksanakan. Yakni beriman kepada Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan pusa, haji, jihad, infaq, mencari ilmu yang bermanfaat, membimbing manusia kepada kebaikan, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, dan sebagainya. Dan, mereka tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak dibebankan kepada mereka atau dengan hal-hal yang kalaupun dilaksanakan tidaklah merupakan ibadah, seperti mencari hakikat nama-nama dan sifat-sifat itu. Karenanya, pada masa itu agama Islam bersih dari debu-debu bid’ah.

0 komentar:

Posting Komentar