Dalam Pandangan Al Qur'an dan Al Hadits
Bai’at adalah pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis) seorang yang memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan (makrifat) Allah melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan khusus secara jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw. Bai’at, talqin, pemberian ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur Ridwan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Ketika itu para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya.Peristiwa ini dilukiskan dalam Al-Quran:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ
عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا
فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا
قَرِيبًا ﴿الفتح:١٨
Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam
hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan
kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).[1]
Di zaman Rasulullah Saw, bai’at
diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk agama Islam serta bagi
yang berkeinginan menunaikan pekerjaan-pekerjaan (perintah) agama. Di
antara bai’at yang ada waktu itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada Rasulullah Saw.[2]
Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan beragama.[3]
Ada yang memiliki persepsi keliru bahwa bai’at
hanya dilakukan di saat peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa
Rasulullah Saw dan para sahabatnya ketika menghadapi kaum kafir Mekah.
Padahal asbabun nuzul (sebab turunnya) kedua ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya bai’at dan tidak ada penjelasan bahwa bai’at hanya dilakukan pada saat peperangan saja. Kebijakan syari’at bai’at dilakukan pada setiap zaman untuk membangun kepemimpinan.[4]
Makna Bai’at
Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun [بايع – يبايع - بيعة]. Asalnya sama dengan baayi’un (transaksi)[5]. Makna bai’at
itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada
jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin.
Dengan prosesi bai’at terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban
serta tanggung jawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional.
Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.
Bai’at lebih merupakan pernyataan komitmen spiritual secara formal di depan mursyid untuk menjalani hidup yang benar dan lurus. Bai’at
dapat menjadi terapi kaget (shock theraphy) menuju untuk hijrah kepada
susasana batin yang baru dan memberikan motivasi berkomitmen dalam
kehidupan yang benar.[6]
Bai’at
di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan
pengisian kembali (recharging ) energi spiritual dari mursyid. Namun
perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan santo atau lembaga
pastoral yang dapat atas nama Tuhan memberikan pengampunan dosa terhadap
jamaah. Fungsi mursyid sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hanya
berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercayai salik.
Hak dan Kewajiban
Hak Imam (Mursyid) adalah ditaati. Kewajibannya
membimbing pengikutnya kepada jalan yang lurus. Jalan yang lurus
merupakan anugerah besar yang hanya dibawa oleh orang-orang pilihan-Nya.
Dan anugerah tersebut bukan berasal dari manusia atau makhluk-Nya.
Anugerah
atas manusia pilihan Allah tersebut adalah Kenabian dan Kerasulan, di
dalamnya terdapat kepemimpinan. Termasuk di dalamnya adalah Al-’Ulama, pewaris Nabi yang melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan selanjutnya.
Orang-orang pilihan Allah tersebut membawa panji-panji Ilahiyyah yang berisi kebijakan yang lurus dalam menggapai Keridhaan Allah SWT.
Hak Murid
adalah dipimpin, dibimbing, diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Posisi Mursyid adalah sebagai konsultan yang menampung persoalan atau
problematika muridnya.[7] Murid memiliki hak untuk bertanya terhadap persoalan yang belum (tidak mampu) dipecahkannya.[8]
Kewajiban murid adalah Sami’na wa Atho’na.
Tidak ada pilihan melainkan bersikap taat dan turut perintah. Hal ini
disebabkan karena telah terbangun keimanannya kepada Mursyid yang telah
dipilih Allah dan diyakini mendapatkan mandat Ilahiyyah yang membawa
kebijakan Allah SWT. Modal itulah yang melandasi sikap Sami’na wa Atho’na. Sikap ini bukan taqlid yang dilakukan tanpa dilandasi ilmu pengetahuan, tapi didasarkan atas kesadaran dan keimanan.
Adanya
hak dan kewajiban ini membuktikan konsep keadilan kepemimpinan dalam
Islam. Keadilan inilah yang mendekatkan diri kepada nilai ketaqwaan.
Kelak akan ada pengikut yang melaknat pemimpinnya, sebagaimana yang diinformasikan dalam Al-Quran:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿الأحزاب: ٦٧﴾
Dan
mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan (yang benar).
Istilah Bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli Tarekat, sedangkan Bai’at sering digunakan dalam Fiqh Siyasah (Politik Islam).
Bagian pengabdian seorang Utusan baik kalangan Nabi atau penerusnya adalah sebagai pendidik (mu’allim) umatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ﴿الجمعة: ٢﴾
Dialah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Bai’at
juga disebut juga dengan Ijazah.
Ijazah mengandung arti memberikan
suatu amalan atau wirid (kepada murid). Dalam kebijakan Al-Idrisiyyah
Al-Islamiyyah, ketiga istilah ini (Bai’at – Talqin dan Ijazah) dipadukan dalam satu kesatuan. Bai’at
mengandung kesepakatan terhadap kepemimpinan yang di dalamnya
mengandung pendidikan atau pengajaran sekaligus adanya pemberian amalan
(wirid).
Wiridan
dalam Ijazah mesti dilakukan oleh setiap murid untuk mengikat batin,
agar tercipta kelangsungan bimbingan dari seorang Guru kepada
murid-muridnya. Karena bimbingan Islam tidak dibatasi waktu dan tempat.
Kapanpun dan di manapun bimbingan (tarbiyyah) ruhiyyah bisa dirasakan. Seorang murid mesti memiliki daya juang (mujahadah) untuk mendapatkan hubungan tarbiyyah berjalan dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan awrad (formula dzikir) yang diterimanya.
Apabila
seorang Mursyid dengan tanggungjawabnya senantiasa memperhatikan
keselamatan dan kebahagiaan murid-muridnya di dunia dan akhirat, dan
Allah memberikan kekuatan berupa Nur Ilahi-Nya, kemudian muridnya melakukan mujahadah dalam awrad ijazahnya maka akan tersambunglah hubungan tersebut.
Firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا ﴿الفتح: ١٠﴾
Bahwasanya
orang-orang yang bersumpah setia kepada kamu sesungguhnya mereka
bersumpah setia kepada Allah. Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka,
maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.[9]
Inilah
ajaran syari’at yang sangat penting untuk membangun kecerdasan umat,
tapi sayang sekali sebagian besar umat Islam tidak memahami makna
syari’at ini. Sehingga kebanyakan mereka tidak dalam kapasitas
terbimbing. Orang yang berbai’at akan mendapatkan kekuasaan dari Allah
SWT berdasarkan ungkapan Yadullaaha fawqo aydiihim.
Karena orang yang berbai’at kepada Petugas Allah berarti berbai’at
kepada Allah. Allah secara langsung membimbing, memberikan kekuatan,
meneguhkan atasnya. Kekuasan dan Kekuatan Allah di atas kekuasaan dan
kekuatan manusia.
Ketika berbai’at, seseorang akan mendapatkan keridhaan-Nya, dosa-dosanya ditolerir sejalan dengan ungkapan laqod rodhiyallaahu [sungguh Allah telah meridhai].[10]
Seorang
Mursyid bertugas (ibadah) melakukan bimbingan, mencurahkan pikiran dan
strategi, membuat berbagai metodologi dan inovasi, supaya kebijakan yang
dibawanya bisa direspon dan diamalkan oleh murid pada khususnya dan
umat pada umumnya. Tanggung jawab seorang Mursyid itu begitu besar,
karena berupa Risalah Al-Islamiyyah yang pernah ditawarkan kepada
seluruh makhluk lain sebelum manusia, mereka tidak sanggup memikulnya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ
عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولًا ﴿الأحزاب: ٧٢﴾
Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
Tanggung
jawab seorang Mursyid bersifat internal dan eksternal. Skalanya sangat
luas. Sedangkan seorang murid minimal mempertanggungjawabkan dirinya
masing-masing. Kewajiban yang diistiqamahkan akan menghasilkan kualitas
diri yang baik. Bahkan diharapkan menjadi hamba pilihan.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ... إلخ ﴿آلعمران: ١١٠﴾
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
Supaya
menjadi suri tauladan bagi manusia, sebagai kewajiban internal dan
eksternal. Murid yang telah berbai’at, mendapatkan bimbingan lahir
batin, wawasan keislaman yang luas, pendalaman dan penghayatan tentang
agama, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, serta menjadi
contoh di hadapan umat manusia.
Pada umumnya manusia memiliki cita-cita yang pendek,[11] sedangkan pribadi yang berkualitas (khoyro ummah) memiliki visi jauh ke depan, cita-cita yang tinggi, harapan jangka panjang hingga kepada kebahagiaan di kehidupan yang kekal.
Ijazah adalah proses pembentukan diri.[12]
0 komentar:
Posting Komentar