BIOGRAFI SYEIKH IBNU ATHA'ILLAH AS-SAKANDARI
Syeikh
Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa
kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah),
lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk
kota kelahirannya itu. Di kota inilah ia menghabiskan hidupnya dengan
mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual,
antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas
dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di
lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
----------------------------------------------
Sejak
kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari
beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu
Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan
Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut
dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk
pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
tergolong
ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah
dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu,
dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah
kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu
sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn
Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan
at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil
al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap
Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama
besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali
terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn
Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme.
Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan
sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn
‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi
teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia
dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat
Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan
penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama
menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya,
sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski
ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh
intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn
Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok,
bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang
melegenda ini.
Pengarang
kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin,
Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari
al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek
moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang
berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan
Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar
ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar.
Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung
ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan
hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun
658 sampai 679 H.
Ayahnya
termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah
al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya
“Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku
menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau
mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah
yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis
pada pena, tikar dan dinding”.
Keluarga
Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek
dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya.
Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah
seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada
masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena
Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih,
hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tentu saja juga memuat banyak
tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh
karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai
seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya
terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya
secara terang-terangan tidak menyukainya.
Ibnu
Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya
adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan
serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas
al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah
(Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”,
... dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
... dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
----------------------------------------------
Pada
akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar.
Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh
sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku
biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa:
Masa pertama
Masa
ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama
seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim
ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh
pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena
kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita:
“Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi,
yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa
yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim
adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.
Masa kedua
Masa
ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu
kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan
gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan
kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’
tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati.
Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada
cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu
ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia
bertanya-tanya dalam hatinya :
“apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka
demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin
tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia
punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan
masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk
sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani
memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang
guru al-Mursi.
Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan :
“Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir.
Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’.
Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”.
Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah
bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku
beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka
sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan
Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian
panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan
sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan
kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas
pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh
Allah”.
Masa ketiga
Masa
ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo.
Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun
709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah
dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan
kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan
hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang
uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia.
Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan
kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan
suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri
dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut
Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang
tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang
ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang
untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan
tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho’illah
sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi
penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban
di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke
Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata:
Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :
Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
“Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”.
Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi :
“Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”.
Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
----------------------------------------------
Karya.
Sebagai
seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak
22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq,
falsafah sampai khitobah.
Kitabnya
yang paling masyhur sehingga telah menjadi terkenal di seluruh dunia
Islam ialah kitabnya yang bernama Hikam, yang telah diberikan komentar
oleh beberapa orang ulama di kemudian hari dan yang juga telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing lain, termasuklah bahasa
Melayu dan bahasa Indonesia.
Beberapa
kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan
At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil
Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul
Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua
ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa
kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun.
Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme.
Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan
sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibnu
Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi
panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi
teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
----------------------------------------------
Al-Hikam Ibnu 'Ataillah
Kitab
ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk membezakannya
daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Syekh
Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita
untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang
ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab
Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam
paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti
Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme
falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar
bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi
dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara
syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak
Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan
para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada
ma’rifat.
Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
----------------------------------------------
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi
dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu
Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai
pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan
keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi
menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya
dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di
antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu
murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah
sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam
Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.
Kurang
puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian
pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu
si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan
tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa
memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah,
dia pasti menjawabnya”.
----------------------------------------------
Wafat
Tahun
709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut
wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke
alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah
al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah
dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring
kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
0 komentar:
Posting Komentar