Kamis, 18 Juni 2015

Kemuliaan Dalam Wirid

Sekalian hamba-hamba Allah yang shaleh dimana lahiriah mereka dihiasi dengan syariat dan bathiniah mereka diisi dengan marifat, pastilah sekalian waktu mereka dalam hidup tidak ada yang sia-sia, tetapi adalah penuh berisi dengan berbagai amal ibadat. Dan bagaimana dengan amal shaleh yang menghiasi waktu-waktu mereka itu, yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkan dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
“Tidaklah menganggap remeh akan wirid melainkan orang-orang yang jahil. Bermula Al-Waarid itu didapat di negeri akhirat. Sedangkan Al-Wirdu itu terlipat ia dengan sebab terlipatnya kampung dunia ini. Dan sepatut-sepatut sesuatu yang mementingkan seseorang dengannya ialah sesuatu yang tidak dapat menggantikan adanya Al-Wirdu yang Allah menuntut wirid bagi anda, sedangkan Al-Waarid anda yang memohonkan dari Allah. Dan dimanakah sesuatu yang Allah menuntutnya dari anda (apabila dibandingkan) dari sesuatu yang bermula dari-Nya itu tujuan anda pada sesuatu itu.”
I. Dalam ilmu Tasawwuf ada istilah "Al-Wirdu", di mana dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan perkataan “Wirid”. Al-Wirdu itu ialah: “Segala amal shaleh yang mendekatkan seseorang kepada Allah yang Maha Megah dan Maha Pengampun.”
Atau dalam definisiyang lain adalah sebagai berikut: “Segala amal shaleh yang terisilah segala waktu dengannya dan tercegah segala anggota dengan sebabnya pada jatuh ke dalam segala sesuatu yang tidak baik.”
Jadi yang dimaksud dengan Al-Wirdu ialah amal shaleh apa saja yang bersifat ibadat atau yang dianggap baik untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menghampirkan diri kepada Allah S.w.t.
Apakah amal shaleh itu sifatnya lahiriah atau sifatnya bathiniah. Apabila amal-amal shaleh itu ditetapkan mengerjakannya pada waktu-waktu tertentu, berarti terisilah waktu-waktu itu dengan hal-hal yang baik dan jauh segala anggota kita pada mengerjakan segala sesuatu yang tidak diinginkan menurut agama.
Misalnya dari Al-Wirdu ialah, seperti menetapkan sembahyang Dhuha pada waktunya, menetapkan membaca Al-Quran sehari semalam sekian banyaknya, mengajar ilmu agama pada waktu-waktu tertentu dengan ikhlas tanpa memungut biaya, sembahyang malam sekian rakaat dan sebagainya. Maka mengisi waktu dengan amalan shaleh secara kontinyu, tetap tekun dan yakin, sehingga tidak pernah tinggal, dan kalau tinggal diqadha’. Yang begitu itu adalah disebut dengan Al-Wirdu atau wirid.
Contoh yang bersifat bathin, seperti pada waktu khusus apakah di siang hari atau malam hari kita tafakur mengingat segala dosa yang telah kita kerjakan, kita minta ampun kepada Allah S.w.t. dan kita berdzikir dalam hati mengingati Allah S.w.t. serta mengharapkan keridhaan-Nya.
II. Istilah Tasawwuf yang kedua yang kita lihat dalam Kalam Hikmah ini ialah perkataan “Al-Waarid”. Yang dimaksud dengannya ialah :
“Sesuatu yang datang atas bathin si hamba berupa hal-hal yang halus dan nur, maka dengannya menjadi lapanglah dadanya dan bersinarlah hatinya.”
Maksudnya dengan sebab amal-amal shaleh yang kita kerjakan sehingga tidak pernah kita tinggalkan adalah merupakan jalan di mana Allah S.w.t. akan mendatangkan (melimpahkan) ke dalam hati hamba-Nya nur-nur yang tak dapat dilihat oleh mata dan dijangkau oleh perasaan, tetapi yang terang, hati kita telah dilimpahkan ilmu ketuhanan sehingga iman kita terbuka melihat hakikat hikmah alam mayapada ini dan hati kita bersinar dengannya. Yang begini ini adalah disebut dengan “Al-Waarid”. Jadi apabila Al-Wirdu merupakan amaliah manusia dan ‘ubudiyahnya kepada Allah S.w.t., maka Al-Waarid berarti kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia dengan berkah amal shalehnya itu.
III. Al-Wirdu patut menjadi perhatian kita manusia sebagai hamba Allah. Sebab hal keadaannya adalah karena dua hal:
(1). Al-Wirdu itu kesempatannya, waktunya dan tempatnya hanya khusus di dunia saja, tidak di akhirat. Sebab itu apabila dunia ini masih ada, maka masih ada kesempatanlah mengerjakan Al-Wirdu atau Wirid, yakni masih ada kesempatan membaca Al-Qur'an, bersalawat, sembahyang, berdzikir, berwaqaf, bersedekah dan sebagainya. Tetapi demi dunia ini sudah tidak ada lagi, atau demi umur kita sudah sampai, atau demi waktu untuk menerima ibadat sudah tidak ada lagi, maka tidak ada artinya segala wirid yang tersebut tadi.
Oleh sebab itu sepantasnya bagi kita memperbanyak ibadat yang bersifat istiqamah di dunia ini selama masih ada kesempatan, karena kita masih hidup. Tetapi apabila waktu-waktu yang diharapkan untuk dapat beribadat di dalamnya telah berlalu dan telah luput atau umur kita sudah sampai ajalnya, maka pastilah tidak akan mungkin untuk mengejar dan mengganti amal shaleh yang telah luput itu.
(2). Hak Tuhan atas kita ialah Al-Wirdu itu. Sedangkan hak kita pada Allah ialah mendapat pahala dan kurnia dari-Nya atas amal shaleh yang kita kerjakan itu. Karena itu yang lebih patut dan layak ialah supaya kita melaksanakan Hak Tuhan atas kita, karena dengan demikian pasti Allah dengan sifat-Nya yang Maha Murah akan memperhatikan kita. Dan alangkah tidak patut dan tidak kena pada tempatnya, kita mendahulukan diri kita memohon kepada Allah S.w.t. supaya Allah memberikan kurnia-Nya atas kita sedangkan hak-hak-Nya tidak menjadi perhatian kita dan kita tidak serius mengamalkannya.
Apabila demikian pentingnya Al-Wirdu sebagai jalan atas datangnya Al-Waarid, teranglah bagi kita bahwa orang-orang yang meremehkan Al-Wirdu, tidak memperhatikan dengan serius atau meninggalkan sama sekali adalah orang-orang bodoh dan orang-orang jahil, betul-betul jahil. Sebab orang-orang itu tidak sampai ilmunya atau tidak sampai perasaannya pada merasakan dengan keyakinan hikmah yang terkandung di dalam Al-Wirdu itu.
Tetapi apabila perasaannya sampai pada menanggapi bahwa Al-Wirdu itu menimbulkan kesucian bathin dan mendatangkan cahaya iman, yakin dan makrifat, pasti dia tidak akan memandang ringan dan meremehkan Al-Wirdu itu. Oleh sebab itu cuma rindu semata-mata dan cuma ingin untuk mendapatkan Al-Waarid dari Allah tetapi tidak mau bersama mencari jalan-jalannya adalah jahil dan bodoh.
IV. Inilah sebabnya kita melihat para ulama besar dan hamba-hamba Allah yang shaleh selalu dalam istiqamah, tekun dan kontinu dalam beramal dan beribadat, sehingga waktu-waktu mereka tidak sunyi dari terisi dangan amal-amal kebajikan.
Sebagai contoh, Al-Junaid Al-Baghdady mewiridkan sembahyang sunnah hingga sampai keluar roh beliau dari dua kakinya, barulah sembahyang itu beliau hentikan. Dan banyak bukti bagi kita tentang istiqamahnya para ulama dan ketekunan mereka dalam beramal.
Berkata Abu Thalib Al-Makky R.a.: “Mengekalkan wirid-wirid adalah sebahagian dari akhlak orang-orang yang beriman dan jalan orang-orang yang ahli ibadat, dan mengekalkan wirid itu adalah menambah iman dan tanda yakin.”
Dalam satu Hadits, Saiyidah Aisyah R.a. telah ditanyakan, mengenai amal Rasulullah S.a.w. Aisyah menjawab: “Amal Nabi adalah berkekalan!”. Dan pada lafadz yang lain Aisyah berkata: “Nabi apabila mengamalkan sesuatu amalan, Beliau memperbaguskan amalan Beliau, dan Beliau tetapkan amalan itu (secara kontinyu).”.
Dalam Hadits yang masyhur Nabi S.a.w bersabda:
“Sebaik-baik amal pada Allah Ta’ala ialah amal yang kontinyu meskipun sedikit.”
Kesimpulan:
Apabila kita bermaksud supaya hati kita dipimpin oleh Allah dengan bertambah kuatnya iman, bertambah yakin dan bersinar hati di samping lapang dada kita menghadapi segala sesuatu di dunia ini, maka jangan lupa berusaha dengan ibadat dan beramal amal-amal shaleh yang sifatnya istiqamah, tetap dan kontinyu. Apabila demikian keadaannya Insya Allah, tanpa kita sadari kita telah berjalan sedikit demi sedikit dekat kepada Allah S.w.t. dalam arti iman dan yakin.

0 komentar:

Posting Komentar