Jumat, 19 Juni 2015

Tolok Ukur Kemuliaan dan Kehinaan

banerr.gif

Allah Swt berfirman :

 فَأَمَّا الإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:” Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata:” Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak  demikian  sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,  (QS. Al-Fajr : 15-17)

Ayat-ayat diatas menjelaskan tentang asumsi mayoritas orang dalam dua keadaan yaitu saat kaya dan saat miskin. Lapangnya rizqi berlimpahnya harta menjadikan seseorang merasa rela dan senang. Ia menyangka itu pertanda bahwa ia dicintai oleh Allah Swt, dan merasa bahwa ia teristimewakan dari yang lainnya dan mulia disisi-Nya. Oleh sebab itu ia mendapat kenikmatan lebih.

Sebaliknya sempitnya rizqi membuatnya sedih menyangka bahwa itu terjadi karena kehinaan dirinya dihadapan Allah Swt, menyangka bahwa Dia tidak lagi mencintai dirinya sehingga dengan sengaja menghendaki kemisikinan serta kehinaan baginya. Hal yang demikian itu seringkali terlintas dalam benak seseorang.

Al-Qur’an dengan tegas menjawab “Kalla” (sekali-kali tidak) penegasan bahwa yang demikian itu hanyalah asumsi tak berdasar muncul dari diri manusia itu sendiri. Kekayaan materi bukanlah tolak ukur kemulian disisi Allah Swt sebagaimana kemiskinan bukan pula tolak ukur kehinaan disisi-Ny.

Terkadang orang yang fakir itu mulia dan memiliki kedudukan serta dekat kepada-Nya. Sebaliknya terkadang orang yang kaya itu dibenci oleh-Nya serta jauh dari-Nya. Maka tolak ukur miskin atau kaya dalam menentukan jauh dan dekat, mulia dan hinanya seseorang disisi Allah Swt adalah khayalan belaka.
Asumsi semacam itu tentunya memiliki pengaruh negatif bagi kehidupan sosial seseorang. Ketika dominasi asumsi semacam itu kuat maka pada saat dia menyangka dirinya mulia disisi Allah Swt ia akan menjadi sombong dan congkak. Sementara saat menyangka dirinya dibenci oleh-Nya maka ia akan dihinggapi rasa frustasi, putus asa, bahkan akan menunduh Allah Swt tidak belaku adil.

Pengaruh buruk darinya akan nampak dalam prilaku sebagaimana keterangan di banyak ayat al-Qur’an. Ketika lapang baginya rizki dan berlimpa harta maka ia akan melampaui batas:

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى  أَنْ رَآَهُ اسْتَغْنَى
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. al-Alaq : 6-7)

Merasa congkak, lebih mulia dari yang manusia yang lainnya, membanggakan diri dihadapan mereka dan pada akhirnya ia akan berlaku lalim dan sewenang-wenang. Sebagaimana al-Qur’an mencontohkan sosok Qarun dari kaum Nabi Musa as ia berlaku lalim kepada mereka, Allah Swt memberinya harta yang berlimpah:

مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ
yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (QS. Al-Qashas: 76)

Kunci-kunci tempat penyimpanan harta berupa emas, perak dan barang-barang berharga yang dimilikinya. Apabila diangkat bersama-sama oleh para lelaki yang kuat tidaklah mudah, pribadi itu disebutkan dalam al-Qur’an:

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِه
Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya.(QS. Al-Qashas :79)

Saat berjalan bersama para prajuritnya ia mengenakan baju yang paling mewah dan menaiki kendaraan yang paling indah sembari menyombongkan diri.

فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia:” Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.(QS. Al-Qashas :79)

Kalau kita perhatikan dengan seksama maka kita akan dapati di dalamnya dua keadaan sebagaimana diatas. Mereka yang hidup dalam kemiskinan merasa hina, mengagungkan yang kaya, iri dan berangan-angan seandainya mereka bernasib sepertinya. Karena itu mereka menghinakan diri mereka dihadapan yang kaya, tunduk kepada para taghut dan pemilik harta. Demikianlah mereka yang menjadikan harta sebagai tolak ukur kemuliaan dan kehinaan, yang kaya sewenang-wenang sementara yang miskin memposisikan diri sebagai kaum lemah yang tunduk pada sipemilik harta dan berasumsi bahwa jika kelak ia kaya maka ia akan melakukan hal yang serupa yaitu sombong dan bertindak sewenang-wenang.

Begitulah Qarun dan mereka yang tamak akan kehidupan dunia. mereka berasumsi bahwa kemulian terdapat pada harta, pemilik harta adalah pemilik kemuliaan padahal hal itu jelas bertolak belakang dengan ajaran Ilahi yang menetapkan bahwa hakikat kemuliaan adalah keimanan dan hikmah. Allah Swt berfirman:

وَمَن يُؤْتَ الحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً
Dan barang siapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (QS.al-Baqarah: 269)

Al-Qur’an menjadikan tolak ukur kemulian adalah sesuatu yang lain dari apa yang mereka anggap, mari kita lihat ungkapan mereka orang-orang yang berilmu:

وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلا يُلَقَّاهَا إِلا الصَّابِرُونَ
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu:” Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar”.(QS. Al-Qashash 80)

Apa balasan bagi Qarun dan pengikutnya yang disifati dengan bertubuh kekar dan memilik kekuatan?

فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ المُنتَصِرِينَ
Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang  yang dapat (membela) dirinya (QS. Al-Qashash: 81)

Allah Swt menenggelamkan Qarun dan seluruh kekayaan yang dimilikinya ditelan oleh  bumi. Arti ditelan disini tidak selalu seperti apa yang dialami Qarun, namun juga bermakna mereka para orang yang kaya yang dihinakan oleh sejarah. Itu adalah sebagian dari dampak buruk yang lahir dari asumsi yang salah terkait dengan tolak ukur kemuliaan dan kehinaan.

Al-Qur’an menegaskan bahwa kelapangan atau kesempitan rizqi bukanlah tolah ukur kemulian atau kehinaan melainkan itu semua adalah ujian. Pada dasarnya setiap orang itu diuji baik saat rizqi lapang maupun sempit, selain ujian tidak ada tujuan lain dari ketetapan lapang atau sempitnya rizqi.

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. al-Kahfi : 7)

إِنَّا خَلَقْنَا الإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعاً بَصِيراً
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Insan : 2)

Mampu mendengar, melihat, berjalan, makan, minum, semua itu adalah ujian. Demikian pula anak, kedudukan dan semua yang ada dunia ini tidak lain merupakan ujian. Sebaliknya saat harta tidak ada, kehilangan anak, kehilangan pendengaran, kehilangan pengelihatan atau sesuatu apapun yang tadinya ada itu merupakan sebuah ujian. Jangan berasumsi bahwa saat kehilangan itu artinya ujian dan saat memperoleh itu bukanlah ujian, diberi maupun tidak diberi adalah ujian.

 وَ اعْلَمُوا أَنَّما أَمْوالُكُمْ وَ أَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (QS. Al-Anfal : 28)

Maksud dari kata “fitnatun” dalam ayat tersebut adalah ujian. Asumsi semacam inilah yang harus tertanam dalam diri setiap mukmin. Oleh karenanya Allah Swt menghendaki dunia bersifat sementara dan terbatas. Asumsi bahwa semua ini adalah ujian akan melahirkan semangat untuk selalu berusaha meraih kesempurnaan dan sampai pada tujuan.

Al-Qur’an menekankan akan hal itu di banyak kesempatan menetapkan bahwa hakikat tolak ukur kemuliaan adalah ketaqwaan.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Al-Hujurat :13)

Oleh sebab itulah kita dapati dalam sejarah bahwa para nabi diuji oleh Allah Swt dengan kemisikinan, penyakit dll…, Bahkan manusia yang paling banyak mendapat ujian adalah mereka para nabi dan wali. Jikalau tolak ukur kehinaan adalah kemiskinan, penyakit atau keadaan yang buruk maka tentunya mereka para nabi dan wali tidak akan diuji dengan yang demikian. Sementara kita meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba yang paling dekat kepada Allah Swt dan yang paling mulia disisi-Nya.

Penting untuk diperhatikan bahwa ketika seseorang salah dalam menilai apa yang terjadi disekitarnya tidak jarang mereka berada pada kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Yakni terkadang ia sampai pada batas kekufuran kepada Allah Swt. Ketika berasumsi bahwa semua punya harta namun dirinya tidak, semua punya anak namun dirinya tidak, semua punya pekerjaan namun dirinya tidak, asumsi semacam ini akan menumbuhkan dalam dirinya rasa putus asa, ragu akan keadilan Allah Swt.

Menerima dan rela dengan seluruh ketetapan Allah Swt adalah puncak tertinggi dari tingkatan keimanan. Jika Allah Swt menetapkan baginya kehilangan maka itu jauh lebih ia cintai dari pada diberi sebab di dalamnya terdapat keridhaan-Nya. Dia akan selalu menerima semua ketetapan selama keridhaan Allah Swt terkandung di dalamnya.

0 komentar:

Posting Komentar