Al-Quran
dan Hadis merupakan sumber hukum, pedoman hidup, dan ajaran. Antara
satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu
kesatuan. Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat
ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu, kehadiran
hadis sebagai sumber ajaran ke dua tampil untuk menjelaskan isi al-Quran
tersebut.
- Bayan Taqrir,
- Bayyan al-Tafsir,
- Bayan al-Tasyri’, dan
- Bayan Taqyid al-Muthlaq.
Namun, pada kesempatan ini tidak bermaksud menguraikan pembahasan
tersebut. Penulis hanya mengetengahkannnya untuk melihat pesan sentral
Hadis dalam Islam agar senantiasa dijaga, dipelihara sebagaimana
menghormati dan memuliakan al-Quran.
Melalui tulisan
ini, penulis ingin melihat satu aspek hadis yang tidak terlepas dari
aspek kesejarahan, yaitu awal mula penulisan hadis pada zaman Sahabat
hingga masa kodifikasi/pengumpulan dan dibukukannya oleh para ulama
setelahnya. Penekanan penulis dalam bahasan ini terkait bentuk-bentuk
kitab hadis mulai dari masa awal hingga masa final. Olehnya, penulis
memilih judulnya dengan, “Nama dan Metode Penyusunan Kitab-kitab Hadis”.
Kitab-kitab
hadis yang ditulis oleh para ulama memiliki metode tersendiri, ada yang
berdasarkan topik tertentu seperti bab-bab fiqih, berdasarkan
sanad/rawi, atau menggabungkan beberapa topik pembahasan sekaligus.
Setiap metode kemudian memiliki nama tersendiri untuk membedaknnya
dengan yang lain. Sebagai perbandingan, penulis juga memberikan
informasi penulisan hadis oleh beberapa Sahabat, bahkan ketika Nabi Saw
masih hidup. Ini akan menjadi bukti sejarah bahwa penulisan Hadis
telah dilakukan oleh para Sahabat pada awal abad ke-1 H, bukan akhir
abad ke-1 H, apalagi awal abad ke-2 H.
Adapun mengenai
peran Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menginstruksikan para ahli
Hadis untuk menghimpun dan menuliskannya pada akhir abad ke-1 H, di
antaranya Ibnu Syihab al-Zuhri dan Abu Bakar bin Amr bin Hazm, dimaknai
sebagai awal kodifikasi/pengumpulan resmi hadis-hadis nabi. Bukan awal
penulisan hadis karena jauh sebelumnya telah ditulis oleh beberapa
Sahabat yang mendapatkan izin langsung dari Rasulullah Saw. Penulis
tidak mencantumkan hadisnya agar tidak terlalu jauh dalam pembahasan
tersebut supaya tetap fokus mengenai nama dan metode bentuk-bentuk kitab
hadis mulai dari masa awal hingga masa final.
Diantara Nama
dan Metode Penyusunan Kitab-kitab Hadis dari masa awal, yaitu para
sahabat hingga masa final dalam bentuk kodifikasi dan pembukuan yang
dilakukan oleh para ahli hadis ialah, Shahifah dan Nuskhah, metode
jus dan Atraf, metode Muwatta, metode Mushannaf, metode Musnad, metode
Jami’, metode Mustakhraj, metode Mustadrak, metode Sunan, metode Mu’jam,
metode Majma’, dan metode Zawa’id. Simak uraiannya di bawah ini:
1) Al-Shahifah dan Nuskhah
Al-Shahifah dan Nuskhah, keduanya dapat diartikan dengan catatan-catatan atau tulisan-tulisan Hadis. Kedua nama inilah yang digunakan pada masa awal Islam untuk menyebut kitab-kitab hadis. Baik Shahifah maupun Nuskhah umumnya dinisbahkan kepada penulisnya karena ketika itu sebagian penulis tidak memberikan nama tertentu bagi tulisannya.
Di antara Shahifah dan Nuskhah yang diketahui ialah:
Al-Shahifah dan Nuskhah, keduanya dapat diartikan dengan catatan-catatan atau tulisan-tulisan Hadis. Kedua nama inilah yang digunakan pada masa awal Islam untuk menyebut kitab-kitab hadis. Baik Shahifah maupun Nuskhah umumnya dinisbahkan kepada penulisnya karena ketika itu sebagian penulis tidak memberikan nama tertentu bagi tulisannya.
Di antara Shahifah dan Nuskhah yang diketahui ialah:
- Shahifah Umar bin Khattab, Shahifah ini berisi zakat-zakat binatang ternak. Mengenai Shahifah tersebut, Al-Tirmidzi dan Muhammad bin Abdurrahman al-Anshariy meriwayatkan, “ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, beliau mengirim surat ke Madinah untuk meminta tulisan Rasulullah Saw yang berisi zakat-zakat dan Shahifah Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz pun mendapatkan kesamaan antara tulisan Rasulullah mengenai zakat-zakat dengan Shahifah Umar bin Khattab tersebut.
- Shahifah Ali bin Abu Thalib, shahifah ini berisi keterangan tentang umur-umur unta, keharaman madinah, dan tentang seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh seorang kafir.
- Shahifah Abdullah bin Amr bin ‘Ash, beliau merupakan sahabat yang mendapat izin langsung dari Nabi Saw untuk menulis hadis. Abdullah bin Amr memberikan nama tertentu tulisan hadisnya, yaitu Shahifah al-Shadiqah. Menurut Ibnu al-Atsir, Shahifah tersebut memuat 1000 buah hadis, namun menurut sumber lain hanya 500 buah saja. Meski Shahifah tersebut sudah tidak ada, namun Imam Ahmad telah meriwayatkan sebagian isinya dan kitab-kitab Sunan yang lain juga memuat sebagian besarnya. Shahifah ini memiliki kedudukan yang sangat penting karena merupakan bukti historis yang ilmiah mengenai penulisan hadis sejak awal abad ke-1 H.
- Shahifah Abdullah bin Mas’ud.
- Shahifah Abdullah bin Abbas.
- Shahifah Jabir bin Abdullah al-Anshariy, shahifah ini berisi manasik haji yang disebutkan Imam Muslim dalam kitab al-Hajj.
- Shahifah Hamman bin Munabbih, ia merupakan seorang tabi’in terkemuka yang menulis hadis dari Abu Hurairah kemudian dan menghimpunnya di dalam Shahifah yang dikenal dengan sebutan Shahifah al-Shahihah. Muhammad Hamidullah menemukan Shahifah tersebut dalam dua manuskrip yang sama, masing-masing di Perpustakaan Berlin dan Damaskus. Terdapat 138 buah Hadis dalam Shahifah al-Shahihah yang diriwayatkan Imam Ahmad secara utuh dalam kitab Musnadnya. Disamping itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan sebagian besar hadisnya dalam beberapa bab di dalam kitab Shahihnya.
- Shahifah Sa’ad bin Ubadah al-Anshariy, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Shahifah ini merupakan salinan dari Shahifah Abdullah bin Abi Aufa.
- Shahifah Abu Rafi’, Shahifah ini memuat istiftah shalat, kemudian diberikannya kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits.
- Shahifah Asma’ binti Umais.
- Nuskhah Samurah bin Jundub.
- Nuskhah Suhai bin Abu Shalih, sebenarnya Suhail bin Abu Shalih tidak memberikan nama apa-apa kepada karya tulisnya itu. Karenanya, kitab Suhail ini akhirnya hanya popular dengan sebutan Nuskhah Suhail bin Abu Shalih. Pada tahun 1966, Nuskhah Suhai bin Abu Shalih ditemukan dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) oleh Muhammad Mustafa Azami di perpustakaan al-Dhahiriyah di Damaskus, Syria. Azami kemudian meneliti, mengedit, dan menertibkannya bersama disertasinya untuk meraih gelar doctor dari Universitas Cambridge, Inggris. Maka, pada gilirannya Nuskhah Suhai bin Abu Shalih ini juga ikut memperkuat pembuktian bahwa Hadis Nabawi tekah ditulis dan dibukukan sejak awal abad ke-1 H.
Demikianlah beberapa Shahifah dan Nuskhah yang menjadi pedoman awal
dalam bentuk tertulis terhadap hadis-hadis Nabi Saw. Keberedaan Shahifah
dan Nuskhah ini memberikan bukti bahwa Hadis Nabi yang kita temukan
saat ini benar-benar otentik, bukan rekayasa sebagaimana penilaian
sebagian orientalis masa kini. Harus juga dipahami bahwa sampainya Hadis
Nabi kepada kita selain melalui perantara tertulis, juga tidak terlepas
melalui perantara hafalan. Bahkan, terdapat sebagian ulama yang
menuliskan hadis dan menghapusnya setelah menghafalnya. Ini menunjukkan
bahwa tradisi menghafal tetap kental dan kuat dalam tradisi kodifikasi
dan pengumpulan Hadis sampai termuat dalam koleksi-koleksi yang besar.
Sebagai tambahan, perlu juga disebutkan bahwa terdapat istilah lain yang
dipakai oleh ahli Hadis klasik untuk menunjuk kepada catatan-catatan
atau tulisan-tulisan hadis selain Shahifah dan Nuskhah. Istilah-istilah
itu adalah Daftar, Kurrasah, Diwan, Kitab, Tumar, dan Darj. Dalam
konteks sekarang, Daftar, Kurrasah, Diwan, dan Kitab ialah tulisan yang
datar, dimana bentuk luarnya mirip buku yang dikenal sekarang ini.
Adapun Tumar dan Darj ialah bentuk tulisan yang panjang dan digulung.
Berikut Halaman awal dan akhir Nuskhah Suhail bin Abu Shalil yang ditemukan oleh Muhammad Mustafa Azami di Damaskus:
Halama Awal;
Nuskhah Suhai bin Abu Shalih
Halaman Akhir;
Nuskhah Suhai bin Abu Shalih
2) Metode Jus dan Atraf
Kedua metode ini, yaitu Juz dan Atraf merupakan sistemaatika sederhana
yang digunakan ahli Hadis dalam menyusun hadis pada periode awal. metode
ini hampir mirip dengan bentuk Shahifah dan Nuskhah.
Juz berarti bagian. Adapun pengertiannya dalam kajian ini ialah metode
pembukuan matan-matan (materi) Hadis berdasarkan guru yang meriwayatkan
Hadis kepada penulis kitab. Contoh kitab Hadis yang memakai metode ini
ialah Nuskhah Suhai bin Abu Shalih (w. 138 H) dimana ia hanya
menyebutkan satu jalur sanad yang meriwayatkan hadis-hadis yang
ditulisnya, yaitu Abu Shalih (Ayahnya) – Abu Hurairah – Nabi Muhammad
Saw.
Adapun Atraf secara istilah ialah berarti pangkal-pangkal. Dalam ilmu
Hadis, atraf ialah metode pembukuan hadis dengan menyebutkan pangkalnya
saja sebagai petunjuk matan Hadis selengkapnya. Di antara ulama klasik
yang menulis Hadis dengan metode ini ialah Auf bin Abu Jamilah al-‘Abdi
(w. 146 H). Metode ini berkembang pada abad ke-4 dan ke-5 H.
3) Motode Muwatta
Muwatta berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan menurut terminology
ilmu Hadis, Muwatta adalah metode pembukuan Hadis yang berdasarkan hukum
Islam (Abwab Fiqhiyyah) dan mencantumkan Hadis-hadis marfu’, mauquf,
dan maqtu. Motifasi pembukuan Hadis dengan metode ini adalah untuk
memudahkan orang dalam menemukan Hadis.
Ulama yang menyusun kitan Hadis dengan menggunakan metode ini ialah Ibnu
Abi Dzi’b (w. 158 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam Abu Muhammad
al-Marwazi (w. 293 H), dan lain-lain. Kitab Imam Malik merupakan yang
paling popular di antara kitab-kitab Muwatta. Sehingga, apabila disebut
nama Muwatta maka konotasinya selalu tertuju kepada kitab Imam Malik bin
Anas.
4) Metode Mushannaf
Mushannaf berarti sesuatu yang disusun. Namun, secara terminologis kata
Mushannaf ini sama artinya denga kata Muwatta, yaitu metode pembukuan
Hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam dan mencantumkan Hadis-hadis
marfu’, mauquf, dan maqtu. Seperti halnya Muwatta, ulama yang menulis
Hadis dengan metode Mushannaf ini juga banyak. Di antaranya, Imam
Hammad bin Salamah (w. 167 H), Imam Waki’ bin al-Jarrah (w. 196 H), Imam
Abd al-Razzaq (w. 211 H), Imam Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H).
5) Metode Musnad
Metode Musnad ialah penyusunan kitab Hadis berdasarkan nama para Sahabat
Nabi Saw yang meriwayatkan Hadis. Oleh karenanya, dalam kitab Hadis
dengan metode hadis yang diriwayatkannya.
Jumlah kitab Musnad mencapai 100 kitab. Namun, beberapa kitab saja yang
populer, misalnya kitab Musnad karya al-Humaidi (w. 219 H), kitab Musnad
karya Abu Daud al-Tayalisi (w. 204 H), kitab Musnad karya Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 241 H), dan kitab Musnad karya Abu Ya’la al-Maushili (w.
307 H).
Menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khathib dalam bukunya, Ushul Hadis bahwa yang
mula-mula menyusun kitab Hadis dengan metode Musnad adalah Abu Daud
al-Tayalisi. Kemudian, Musnad Ahmad bin Hanbal dianggap sebagai musnad
yang paling lengkap dan luas.
6) Metode Jami’
Kata Jami’ berarti mengumpulkan, menggabungka, dan mencakup. Dalam
disiplin ilmu Hadism kata Jami’ adalah kitab Hadis yang penyusunanya
mencakup seluruh topic-topik dalam agama, baik akidah, hukum, adab,
tafsir, manaqib, dan lain-lain. Kitab-kitab Hadis yang menggunakan
metode ini jumlahnya cukup banyak.
Di antara kitab yang menggunakan metode Jami’ ialah karya Imam
al-Bukhari (w. 256 H) yang popular dengan sebutan Shahih Al-Bukhari.
Judul aslinya adalah “al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min
Umur Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa al-Sallam wa Sunanih wa Ayyamih”.
Kitab Jami’ lainnya ialah karya Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Naisapuri
(w. 262 H) yang popular dengan judul Shahih Muslim.
7) Metode Mustakhraj
Metodea Mustakhraj ialah penyusunan kitab Hadis berdasarkan penulisan
kembali Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab lain kemudian mencantumkan
sanad dari dia sendiri, bukan sanad yg terdapat dalam kitab yang
dirujuknya. Ada lebih 10 buah kitab Mustakhraj. Di antaranya
al-Mustakhraj ‘ala Shahih al-Bukhari karya Isma’ili (w. 371 H),
al-Mustakhraj ala Shahih Muslim karya al-Isfirayini (w. 310 H), dan ada
pula kitab mustakhraj atas Shahih Al-bukhari dan Shahih Muslim, seperti
karya Abu Nu’aim al-Ishbahani (w. 430 H), Ibnu al-Akhram (w. 344 H), dan
lain-lain.
Metode Mustadrak adalah penyusunan kitab Hadis berdasarkan Hadis-hadis
yang tidak tercantum dalam suatu kitab Hadis dengan mengikuti
persyaratan penerimaan hadis dalam kitab tersebut. Contoh kitab Hadis
dengan metode ini ialah kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain karya Imam
Hakim al-Naisapuri (w. 405 H). Imam Hakim menyusun kitabnya dengan
menyeleksi hadis-hadis yang sesuai dengan persyaratan dalam penerimaan
Hadis oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, tetapi tidak mencantumkannya
dalam kitab shahih keduanya.
Jadi, Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Mustadrak tidak terdapat
dalam kitab asalnya. Berbeda dengan kitab-kitab Mustakhraj yang hadisnya
juga terdapat dalam kitab asalnya.
9) Metodea Sunan
Kata Sunan adalah bentuk jamak “Sunnah” yang pengertiannya sama dengan
Hadis. Sementara yang dimaksud disini ialah metode penyusunan kitab
Hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (Abwab al-Fiqhiyyah) dan hanya
mencantumkan hadis marfu saja. Apabila terdapat hadis mauquf dan maqtu,
maka relatif jumlahnya hanya sedikit. Berbeda dengan kitab Muwatta dan
Mushannaf yang banyak memuat hadis mauquf dan maqtu.
Di antara kitab-kitab Sunan yang popular adalah karya Abu Dawud
al-Sijistani (w. 275 H), -bedakan dengan Abu Dawud al-Tayalisi-,
kemudian al-Nasa’i (w. 303 H) yang semula kitabnya diberi nama
al-Mujtaba, al-Tirmidzi, Ibnu Majah al-Qaswini (w. 275 H), dan
lain-lain.
10) Metode Mu’jam
Metode Mu’jam adalah metode penulisan kitab Hadis yang disusun
berdasarkan nama-nama para Sahabat, guru-guru Hadis, negeri-negeri, atau
yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasrkan huruf Mu’jam
(alfabet). Kitab Hadis yang menggunakan metode ini banyak sekali. Di
antaranya yang popular adalah karya Imam al-Thabrani (w. 360 H), beliau
menulis 3 buah kitab Mu’jam, al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat, dan
al-Mu’jam al-Shagir.
11) Metode Majma
Metode Majma digunakan dalam penyusunan kitab Hadis kira-kira akhir abad
ke-5 H. metode ini digunakan untuk membuat terobosan baru dalam
penyusunan kitab hadis dengan menggabungkan kitab-kitab Hadis yang sudah
ada. Sehingga, metode ini disebut Jama’ atau Majma’. Contoh kitab Hadis
dengan metode ini ialah kitab al-Jama’ baina al-Shahihain karya
al-Humaidi. (w. 488 H). Tentu isinya merupakan gabungan antara kitab
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Contoh lainnya ialah Jama’ baina
al-Ushul al-Sittah karya Ibnu al-Atsir (w. 606 H) yang merupakan
gabungan antara 6 kitab Hadis (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah).
12) Metode Zawaid
Zawaid menurut bahasa berarti tambahan-tambahan. Adapun menurut
terminologi Hadis ialah penyusunan kitab Hadis yang mengkhususkan hanya
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh satu penulis Hadis saja. Contoh kitab
Hadis dengan metode Zawaid ialah kitab Mizbah al-Zujajah fi Zawaid Ibn
Majah karya Bushairi (w. 480 H) yang berisi Hadis-hadis yang ditulis
hanya oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunannya.
PUSTAKA BACAAN
- Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul Hadis
- Ali Mustafa Yaqub, Ktitik hadis
- Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis
0 komentar:
Posting Komentar