· MUJAHID
Dia adalah Mujahid bin Jabr al-Makky, Mawla as-Sa`ib bin Abi as-Sa`ib
al-Makhzumy, lahir pada tahun 21 H. Beliau mentransfer tafsir al-Qur’an dari
Ibn ‘Abbas radhiyallahu anhu.
Ibn Ishaq meriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Aku telah menyodorkan Mushaf kepada Ibn ‘Abbas sebanyak tiga kali, dari permulaannya hingga penghujungnya. Aku minta ia berhenti pada setiap ayat dan menanyakan tentangnya kepadanya.”
Sufyan at-Tsaury pernah berkata, “Bila tafsir itu datang kepadamu melalui Mujahid, maka itu sudah cukup bagimu.”
Asy-Syafi’i dan al-Bukhary sangat mengandalkan tafsirnya. Al-Bukhary banyak sekali menukil darinya di dalam kitab Shahih-nya.
Adz-Dzahaby berkata di akhir biografi tentangnya, “Umat bersepakat atas keimaman Mujahid dan berhujjah dengannya.”
Beliau wafat pada tahunn 104 H di Mekkah saat sedang sujud dalam usia 83 tahun.
Ibn Ishaq meriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Aku telah menyodorkan Mushaf kepada Ibn ‘Abbas sebanyak tiga kali, dari permulaannya hingga penghujungnya. Aku minta ia berhenti pada setiap ayat dan menanyakan tentangnya kepadanya.”
Sufyan at-Tsaury pernah berkata, “Bila tafsir itu datang kepadamu melalui Mujahid, maka itu sudah cukup bagimu.”
Asy-Syafi’i dan al-Bukhary sangat mengandalkan tafsirnya. Al-Bukhary banyak sekali menukil darinya di dalam kitab Shahih-nya.
Adz-Dzahaby berkata di akhir biografi tentangnya, “Umat bersepakat atas keimaman Mujahid dan berhujjah dengannya.”
Beliau wafat pada tahunn 104 H di Mekkah saat sedang sujud dalam usia 83 tahun.
· QATADAH
Beliau adalah Qatadah bin Di’amah as-Sadusy al-Bashary, terlahir dalam keadaan
buta pada tahun 61 H. Beliau giat menuntut ilmu dan memiliki hafalan yang kuat.
Karena itu, beliau pernah berkisah tentang dirinya, “Aku tidak pernah
mengatakan kepada orang yang bicara kepadaku, ‘Ulangi lagi.!’ Dan tidaklah
kedua telingaku ini mendengar sesuatu apa pun melainkan langsung ditangkap oleh
hatiku (langsung dapat menangkap dan mencernanya dengan baik-red.,).”
Imam Ahmad pernah menyinggung tentang dirinya lalu membicarakannya secara panjang lebar. Ia lalu menyiarkan mengenai keilmuan, kefiqihan dan pengetahuannya tentang berbagai perbedaan dan tafsir. Ia juga menyebutnya sebagai seorang yang kuat hafalan dan ahli fiqih. Imam Ahmad berkata, “Amat jarang anda temukan orang yang dapat mengunggulinya. Tapi kalau dikatakan ‘ada yang seperti dia’ maka ini bisa saja terjadi.”
Ia juga mengatakan, “Beliau (Qatadah) adalah seorang yang paling hafal dari kalangan penduduk Bashrah, tidak lah ia mendengarkan sesuatu melainkan langsung hafal.”
Beliau wafat di suatu tempat bernama Wasith, pada tahun 117 H dalam usia 56 tahun.
--------
(SUMBER: Ushuul Fii ‘Ilm at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.37-38)
Imam Ahmad pernah menyinggung tentang dirinya lalu membicarakannya secara panjang lebar. Ia lalu menyiarkan mengenai keilmuan, kefiqihan dan pengetahuannya tentang berbagai perbedaan dan tafsir. Ia juga menyebutnya sebagai seorang yang kuat hafalan dan ahli fiqih. Imam Ahmad berkata, “Amat jarang anda temukan orang yang dapat mengunggulinya. Tapi kalau dikatakan ‘ada yang seperti dia’ maka ini bisa saja terjadi.”
Ia juga mengatakan, “Beliau (Qatadah) adalah seorang yang paling hafal dari kalangan penduduk Bashrah, tidak lah ia mendengarkan sesuatu melainkan langsung hafal.”
Beliau wafat di suatu tempat bernama Wasith, pada tahun 117 H dalam usia 56 tahun.
--------
(SUMBER: Ushuul Fii ‘Ilm at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.37-38)
· ATH-THABARIY
Nama Mufassir
Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy, al-Imâm al-'Allâmah, al-Hâfizh, seorang sejarawah. Beliau lahir tahun 224 H dan wafat 310 H.
Nama Kitab
Jâmi' al-Bayân Fî Ta`wîl Ayi al-Qur`ân
Spesifikasi Umum
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Ibn Taimiyyah di dalam mukaddimah Ushûl at-Tafsîr, hal.90: " Ia termasuk kitab tafsir bercorak Ma`tsûr yang paling agung dan paling besar kedudukannya. Beliau telah mengoleksi berbagai ilmu-ilmu al-Qur'an seperti Qirâ`ât (aspek-aspek bacaan), makna-maknanya, hukum-hukum fiqih yang diintisarikan dari ayat-ayatnya, penjelasan makna-makna ayat yang diambil dari bahasa orang-orang Arab, sya'ir dan sebagainya."
'Aqidahnya
Beliau memiliki sebuah buku seputar 'Aqidah Ahlussunnah yang diberinya judul "Sharîh as-Sunnah" (sudah dicetak). Sementara 'aqidahnya di dalam penafsiran, beliau adalah seorang imam panutan, membela madzhab Salaf, berargumentasi dengannya dan membelanya akan tetapi di dalam menetapkan sifat Ghadlab (marah) dan Hayâ` (malu), beliau menyebutkan semua pendapat Ahli Tafsir namun tidak menguatkan satupun darinya.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau komitmen menyebutkan semua riwayat dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya. Kebanyaknya tidak ditanggapi beliau baik dengan menshahihkan ataupun melemahkannya.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyebutkan hukum-hukum fiqih yang ada di dalam ayat, pendapat para ulama dan madzhab-madzhab mereka, memilih salah satu darinya dan menguatkannya dengan dalil-dalil ilmiah serta menyebutkan Ijma' umat di dalam pendapat yang telah dikuatkannya dari berbagai pendapat tersebut. Beliau adalah seorang Imam Mujtahid Muthlaq. Para Ahli Tafsir senantiasa merujuk pendapatnya dan mereka merasa berhutang budi padanya.
Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau termasuk ulama Qirâ`ât yang terkenal. Oleh karena itu, beliau amat memperhatikan sisi Qirâ`ât dan makna-maknanya, membantah aspek-aspek bacaan yang Syâdz (aneh/langka), termasuk cakupannya yang dapat menyebabkan perubahan dan penggantian terhadap Kitabullah Ta'ala.
Sikapnya Terhadap Isrâ`iliyyât (Kisah-Kisah Tentang Bani Israil)
Di dalam kitab tafsirnya, beliau mengetengahkan juga kabar-kabar dan kisah-kisah tentang Ka'b al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Ibn Juraij, as-Suddiy, lalu menanggapinya secara kritis akan tetapi tidak konsisten mengkritisi semua yang diriwayatkannya.
Sikapnya Terhadap Sya'ir, Nahwu Dan Bahasa
Kitabnya banyak sekali mencakup berbagai untaian yang berisi solusi bahasa dan Nahwu. Kitabnya meraih ketenaran yang sangat besar. Kebanyakannya, dia merujuk kepada Bahasa orang-orang Arab dan terkadang menguatkan sebagian pendapat. Beliau juga memaparkan sya'ir-sya'ir Arab Kuno, berargumentasi dengannnya secara luas, banyak mengemukakan pendapat-pendapat Ahli Nahwu dan mengarahkan pendapat-pendapat mereka serta menguatkan sebagian pendapat atas pendapat yang lain.
------
Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy, al-Imâm al-'Allâmah, al-Hâfizh, seorang sejarawah. Beliau lahir tahun 224 H dan wafat 310 H.
Nama Kitab
Jâmi' al-Bayân Fî Ta`wîl Ayi al-Qur`ân
Spesifikasi Umum
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Ibn Taimiyyah di dalam mukaddimah Ushûl at-Tafsîr, hal.90: " Ia termasuk kitab tafsir bercorak Ma`tsûr yang paling agung dan paling besar kedudukannya. Beliau telah mengoleksi berbagai ilmu-ilmu al-Qur'an seperti Qirâ`ât (aspek-aspek bacaan), makna-maknanya, hukum-hukum fiqih yang diintisarikan dari ayat-ayatnya, penjelasan makna-makna ayat yang diambil dari bahasa orang-orang Arab, sya'ir dan sebagainya."
'Aqidahnya
Beliau memiliki sebuah buku seputar 'Aqidah Ahlussunnah yang diberinya judul "Sharîh as-Sunnah" (sudah dicetak). Sementara 'aqidahnya di dalam penafsiran, beliau adalah seorang imam panutan, membela madzhab Salaf, berargumentasi dengannya dan membelanya akan tetapi di dalam menetapkan sifat Ghadlab (marah) dan Hayâ` (malu), beliau menyebutkan semua pendapat Ahli Tafsir namun tidak menguatkan satupun darinya.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau komitmen menyebutkan semua riwayat dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya. Kebanyaknya tidak ditanggapi beliau baik dengan menshahihkan ataupun melemahkannya.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyebutkan hukum-hukum fiqih yang ada di dalam ayat, pendapat para ulama dan madzhab-madzhab mereka, memilih salah satu darinya dan menguatkannya dengan dalil-dalil ilmiah serta menyebutkan Ijma' umat di dalam pendapat yang telah dikuatkannya dari berbagai pendapat tersebut. Beliau adalah seorang Imam Mujtahid Muthlaq. Para Ahli Tafsir senantiasa merujuk pendapatnya dan mereka merasa berhutang budi padanya.
Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau termasuk ulama Qirâ`ât yang terkenal. Oleh karena itu, beliau amat memperhatikan sisi Qirâ`ât dan makna-maknanya, membantah aspek-aspek bacaan yang Syâdz (aneh/langka), termasuk cakupannya yang dapat menyebabkan perubahan dan penggantian terhadap Kitabullah Ta'ala.
Sikapnya Terhadap Isrâ`iliyyât (Kisah-Kisah Tentang Bani Israil)
Di dalam kitab tafsirnya, beliau mengetengahkan juga kabar-kabar dan kisah-kisah tentang Ka'b al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Ibn Juraij, as-Suddiy, lalu menanggapinya secara kritis akan tetapi tidak konsisten mengkritisi semua yang diriwayatkannya.
Sikapnya Terhadap Sya'ir, Nahwu Dan Bahasa
Kitabnya banyak sekali mencakup berbagai untaian yang berisi solusi bahasa dan Nahwu. Kitabnya meraih ketenaran yang sangat besar. Kebanyakannya, dia merujuk kepada Bahasa orang-orang Arab dan terkadang menguatkan sebagian pendapat. Beliau juga memaparkan sya'ir-sya'ir Arab Kuno, berargumentasi dengannnya secara luas, banyak mengemukakan pendapat-pendapat Ahli Nahwu dan mengarahkan pendapat-pendapat mereka serta menguatkan sebagian pendapat atas pendapat yang lain.
------
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya
Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, Hal.9-11)
· Tafsir
Ibn Katsir (Ibn Katsir)
Nama Mufassir
'Imâd ad-Dien, Abu al-Fidâ`, Isma'il bin 'Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi'iy, seorang Imam, Hâfizh dan juga sejarawan. Wafat tahun 774 H.
Nama Kitab
Tafsir al-Qur`ân al-'Azhîm
Spesifikasi Umum
Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir kategori Ma`tsûr yang paling masyhur dan menduduki peringkat ke-dua setelah Tafsir ath-Thabariy.
'Imâd ad-Dien, Abu al-Fidâ`, Isma'il bin 'Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi'iy, seorang Imam, Hâfizh dan juga sejarawan. Wafat tahun 774 H.
Nama Kitab
Tafsir al-Qur`ân al-'Azhîm
Spesifikasi Umum
Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir kategori Ma`tsûr yang paling masyhur dan menduduki peringkat ke-dua setelah Tafsir ath-Thabariy.
Tafsir ini juga interes terhadap segi periwayatan, yaitu menafsirkan
Kitabullah dengan hadits-hadits dan atsar-atsar yang langsung disandarkan
kepada para periwayatnya. Pengarangnya juga sangat memperhatikan sisi
penyebutan ayat-ayat yang serupa dengan ayat yang ingin ditafsirkannya, yang
dinamakan dengan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`ân (penafsiran al-Qur'an dengan
al-Qur'an sendiri).
'Aqidahnya
Beliau ber'aqidah Salaf dan hal ini tidak perlu diherankan karena beliau adalah salah seorang murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahumallah.
'Aqidahnya
Beliau ber'aqidah Salaf dan hal ini tidak perlu diherankan karena beliau adalah salah seorang murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahumallah.
Beliau memiliki sebuah kitab di dalam masalah 'aqidah berjudul "al-'Aqâ`id". Di dalam kitab ini, beliau menjelaskan 'aqidah Salaf berupa penetapan terhadap sifat-sifat Allah seperti mendengar, melihat, mata, wajah, ilmu, kalam (bicara), ridla, Sakhth (murka), cinta, benci, senang, tertawa dengan tanpa menyebutkan Takyîf (bagaimana caranya), Tasybîh (penyerupaan), Tahrîf (perubahan) dan Tabdîl (penggantian). Di dalam kitab tafsirnya, beliau menetapkan kebanyakan sifat-sifat tersebut secara global sementara sebagian orang menafsirkannya dengan Lâzim ash-Shifah (konsekuensi sifat itu) mengikuti cara Imam ath-Thabariy, seperti sifat malu dan mata.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau mengetengahkan banyak hadits dan atsar dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya dan interes terhadap penilaian riwayat-riwayat dari sisi keshahihan dan kelemahannya serta menyebutkan sisi al-Jarh wa at-Ta'dîl (metode kelaikan periwayatan) terhadap para periwayat, sebab beliau adalah seorang Hâfizh yang mengenal seni-seni hadits dan para periwayatnya, di samping beberapa karya-karya tulis lainnya.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau mengetengahkan diskusi-diskusi fiqih, pendapat-pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka ketika menafsirkan ayat-ayat tentang hukum akan tetapi tidak terlalu melebar dan mengarahkan siapa saja yang ingin menambah wawasannya kepada beberapa kitab fiqih.
Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun dengan sangat ringkas.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Beliau memiliki kelebihan dengan mengkritisi riwayat-riwayat yang bernuansa Isrâ`îliyyât dan secara umum memberikan peringatan akan hal itu serta biasanya mengkritisinya manaka menyinggung tentangnya.
Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu
Sangat sedikit sekali beliau mengetengahkan hal yang terkait dengan I'râb (penguraian kedudukan suatu kata di dalam kalimat) dan Nahwu, demikian pula halnya dengan masalah sya'ir.
-----------
Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Ibn Katsir, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:
Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Ibn Katsir, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:
- ad-Durar al-Kâminah, karya Ibn Hajar (I:399)
- al-Badr ath-Thâli' karya az-Zarkasyiy (I:153)
- Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (VI:231)
- Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy
(I:111-113)
- 'Umdah at-Tafsîr karya Syaikh Ahmad Syâkir
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya
Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.39-40)
· Tafsir
Al-Qurthubiy
Nama Mufassir
Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H.
Nama Kitab
Al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân
'Aqidahnya
Dia seorang penganut aliran Asya'riyyah dan pena'wil (Cara seperti ini menyimpang dari manhaj Salaf-red.). Hal ini dapat diketahui bila meneliti tafsirnya dan juga bukunya yang berjudul "al-Asnâ Fî Syarh Asmâ` al-Husnâ". Dalam bab Asmâ Wa ash-Shifât (Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah) beliau menukilnya dari para imam-imam aliran Asy'ariyyah seperti al-Juwainiy, al-Bâqillâniy, ar-Râziy, Ibn 'Athiyyah dan sebagainya.
Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H.
Nama Kitab
Al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân
'Aqidahnya
Dia seorang penganut aliran Asya'riyyah dan pena'wil (Cara seperti ini menyimpang dari manhaj Salaf-red.). Hal ini dapat diketahui bila meneliti tafsirnya dan juga bukunya yang berjudul "al-Asnâ Fî Syarh Asmâ` al-Husnâ". Dalam bab Asmâ Wa ash-Shifât (Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah) beliau menukilnya dari para imam-imam aliran Asy'ariyyah seperti al-Juwainiy, al-Bâqillâniy, ar-Râziy, Ibn 'Athiyyah dan sebagainya.
Di dalamnya, beliau juga membantah terhadap Ahli Tasawwuf dan mengingkari prilaku-prilaku dan ucapan-ucapan mereka yang bertentangan dengan syari'at.
Spesifikasi Umum
Mengenai spesifikasi kitabnya, pengarangnya sendiri menyatakan, "Ia merupakan catatan ringkas yang berisi beberapa poin; tafsir, sisi bahasa, I'râb, Qirâ`ât, bantahan terhadap aliran yang menyimpang dan sesat dan hadits-hadits yang banyak sekali sebagai penegas terhadap hukum-hukum dan nuzul Ayat-ayat yang kami sebutkan, mengoleksi makna-maknanya dan menjelaskan ungkapan-ungkapan yang rumit dengan mengetengahkan ucapan-ucapan para ulama Salaf, demikian juga ulama Khalaf yang mengikuti mereka."
Sikapnya Terhadap Hadits Dan Sanad
Beliau banyak mengetengahkan hadits-hadits Nabawi dan telah berjanji pada dirinya untuk menisbahkannya kepada para pengarangnya dan terkadang mengemukakan hadits-hadits tersebut tanpa sanad (mata rantai/jalur transmisi periwayatan) juga.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memaparkan secara panjang lebar ayat-ayat hukum, menyinggung berbagai permasalahan yang diperselisihkan dan terkait dengan ayat-ayat, baik dalam dimensi dekat ataupun jauh dengan menyertakan penjelasan dalil-dalil pendapat-pendapat tentang hal itu.
Beliau seorang yang Munshif (adil/moderat), tidak fanatik terhadap madzhabnya sendiri, yaitu madzhab Malikiy, tetapi tetap berjalan seiring dengan dalil.
Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun sedikit sekali.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Di dalam Mukaddimah kitabnya ini, beliau berkata, "Dan saya mengesampingkan banyak sekali kisah-kisah dan berita-berita yang ditulis oleh sejarawan, kecuali hal yang memang dianggap perlu."
Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu
Beliau menyinggung juga tentang I'râb, menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur'an yang asing,. Banyak sekali memutuskan sesuatu berdasarkan aspek bahasa, demikian juga mengambil dalil penegas dari sya'ir-sya'ir Arab.
------------
Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Imam al-Qurthubiy, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:
1. Thabaqât al-Mufassirîn karya Imam as-Suyûthiy (88)
2. Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (V:335)
3. Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (II:69-70)
4. Mu'jam al-Mufassirîn karya 'Adil Nuwaihidl (II:479)
Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Imam al-Qurthubiy, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:
1. Thabaqât al-Mufassirîn karya Imam as-Suyûthiy (88)
2. Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (V:335)
3. Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (II:69-70)
4. Mu'jam al-Mufassirîn karya 'Adil Nuwaihidl (II:479)
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.24-25)
· Tafsir
Al-Baghawiy
Mukaddimah
Inilah salah satu tafsir Salaf yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dan penuntut ilmu sehingga di dalam menafsikan ayat-ayat, khususnya yang terkait dengan Asmâ` Allah dan Sifat-Nya terhindar dari takwil-takwil yang batil.
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud, yang lebih dikenal dengan al-Farrâ` al-Baghawiy, penghidup as-Sunnah, seorang Imam dan Hâfizh.
Nama Kitab
Ma'âlim at-Tanzîl.
Spesifikasi Umum
Beliau memaparkan ayat dengan sangat mudah dan ringkas. Buku ini aslinya adalah Mukhtashar (ringkasan) dari Tafsîr ats-Tsa'âlabiy akan tetapi beliau menjaga tafsir tersebut dari perkataan-perkataan bid'ah dan hadits-hadits Mawdlu'. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah di dalam bukunya Muqaddimah Fî Ushûl at-Tafsîr, halaman 76. Beliau juga menukil perkataan ulama Salaf mengenai perbedaan pendapat di dalam tafsir dan tidak menguatkan satu riwayat atas riwayat yang lain.
'Aqidahnya
Beliau seorang yang ber'aqidah Salaf; menetapkan Asmâ` dan Shifât yang ditetapkan sendiri oleh Allah Ta'ala atas diri-Nya. Dalam hal ini, beliau telah menetapkan hal itu pada mukaddimah kitabnya yang amat berharga Syarh as-Sunnah. Di dalam tafsirnya tersebut, yang dominan adalah beliau menetapkan Asmâ` dan Shifât tersebut namun beliau ternyata juga terjebak ke dalam penakwilan terhadap sebagian Shifât Allah (padahal ini menyalahi manhaj ulama Salaf-red.,), seperti ar-Rahmah, al-Hayâ` (malu), al-Ghadlab (murka/marah). Ar-Rahmah lbeliau takwilkan dengan Irâdah Alllah al-Khair Li Ahlihi (kehendak Allah untuk berbuat baik terhadap pelakunya, I:18). Beliau juga menakwilkan al-Hayâ` dengan at-Tark wa al-Man'u (Membiarkan dan mencegah, I:43) dan al-Ghadlab dengan Irâdah al-Intiqâm (keinginan untuk mendendam, I:23).
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau biasanya menukil semua yang berasal dari ulama Salaf mengenai tafsir suatu ayat tanpa menyebutkan Isnâd -nya. Akan tetapi beliau telah menyebutkan sanad-sanadnya hingga sampai kepada mereka itu pada mukaddimah Tafsirnya. Beliau biasanya amat selektif terhadap keshahihan hadits yang disandarkannya kepada Rasulullah. Sementara itu, beliau tidak peduli terhadap hadits-hadits Munkar dan Mawdlu' (palsu) namun terkadang meriwayatkan juga dari al-Kalbiy dan periwayat-periwayat lemah selainnya.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Belaiu memaparkan juga permasalahan-permasalahan fiqih dengan gaya bahasa yang mudah dan menukil perbedaan yang ada tanpa mengupasnya secara panjang lebar.
Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau juga menyinggung tentang Qirâ`ât (jenis-jenis bacaan ayat) tanpa bertele-tele.
Sikapnya Terhadap Isra`iliyyat
Beliau menyinggung tentang sebagian Isra`iliyyat namun tidak memberikan tanggapan atasnya.
Sikapnya Terhadap Masalah Sya'ir, Kebahasaan Dan Nahwu
Beliau menghindari kupasan panjang lebar di dalam pembahasan I'râb (penguraian anak kalimat) dan hal-hal yang terkait dengan Balaghah namun menyinggung hal-hal yang memang urgen disebutkan untuk menyingkap makna suatu ayat.
Inilah salah satu tafsir Salaf yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dan penuntut ilmu sehingga di dalam menafsikan ayat-ayat, khususnya yang terkait dengan Asmâ` Allah dan Sifat-Nya terhindar dari takwil-takwil yang batil.
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud, yang lebih dikenal dengan al-Farrâ` al-Baghawiy, penghidup as-Sunnah, seorang Imam dan Hâfizh.
Nama Kitab
Ma'âlim at-Tanzîl.
Spesifikasi Umum
Beliau memaparkan ayat dengan sangat mudah dan ringkas. Buku ini aslinya adalah Mukhtashar (ringkasan) dari Tafsîr ats-Tsa'âlabiy akan tetapi beliau menjaga tafsir tersebut dari perkataan-perkataan bid'ah dan hadits-hadits Mawdlu'. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah di dalam bukunya Muqaddimah Fî Ushûl at-Tafsîr, halaman 76. Beliau juga menukil perkataan ulama Salaf mengenai perbedaan pendapat di dalam tafsir dan tidak menguatkan satu riwayat atas riwayat yang lain.
'Aqidahnya
Beliau seorang yang ber'aqidah Salaf; menetapkan Asmâ` dan Shifât yang ditetapkan sendiri oleh Allah Ta'ala atas diri-Nya. Dalam hal ini, beliau telah menetapkan hal itu pada mukaddimah kitabnya yang amat berharga Syarh as-Sunnah. Di dalam tafsirnya tersebut, yang dominan adalah beliau menetapkan Asmâ` dan Shifât tersebut namun beliau ternyata juga terjebak ke dalam penakwilan terhadap sebagian Shifât Allah (padahal ini menyalahi manhaj ulama Salaf-red.,), seperti ar-Rahmah, al-Hayâ` (malu), al-Ghadlab (murka/marah). Ar-Rahmah lbeliau takwilkan dengan Irâdah Alllah al-Khair Li Ahlihi (kehendak Allah untuk berbuat baik terhadap pelakunya, I:18). Beliau juga menakwilkan al-Hayâ` dengan at-Tark wa al-Man'u (Membiarkan dan mencegah, I:43) dan al-Ghadlab dengan Irâdah al-Intiqâm (keinginan untuk mendendam, I:23).
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau biasanya menukil semua yang berasal dari ulama Salaf mengenai tafsir suatu ayat tanpa menyebutkan Isnâd -nya. Akan tetapi beliau telah menyebutkan sanad-sanadnya hingga sampai kepada mereka itu pada mukaddimah Tafsirnya. Beliau biasanya amat selektif terhadap keshahihan hadits yang disandarkannya kepada Rasulullah. Sementara itu, beliau tidak peduli terhadap hadits-hadits Munkar dan Mawdlu' (palsu) namun terkadang meriwayatkan juga dari al-Kalbiy dan periwayat-periwayat lemah selainnya.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Belaiu memaparkan juga permasalahan-permasalahan fiqih dengan gaya bahasa yang mudah dan menukil perbedaan yang ada tanpa mengupasnya secara panjang lebar.
Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau juga menyinggung tentang Qirâ`ât (jenis-jenis bacaan ayat) tanpa bertele-tele.
Sikapnya Terhadap Isra`iliyyat
Beliau menyinggung tentang sebagian Isra`iliyyat namun tidak memberikan tanggapan atasnya.
Sikapnya Terhadap Masalah Sya'ir, Kebahasaan Dan Nahwu
Beliau menghindari kupasan panjang lebar di dalam pembahasan I'râb (penguraian anak kalimat) dan hal-hal yang terkait dengan Balaghah namun menyinggung hal-hal yang memang urgen disebutkan untuk menyingkap makna suatu ayat.
-----
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdiy, h.14-15)
·
Tafsir
AL-MANAR
Nama Mufassir
Muhammad Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid. Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.
Nama Kitab
Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.
‘Aqidahnya
Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini, kiranya cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24), Beliau Mengatakan :
Muhammad Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid. Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.
Nama Kitab
Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.
‘Aqidahnya
Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini, kiranya cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24), Beliau Mengatakan :
“Sayyid Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah memiliki andil besar
terhadap Dunia Islam secara umum dan secara khusus terhadap kaum Salafiyyin.
Hal ini kembali kepada sosok beliau yang merupakan salah seorang da’i yang
langka di dalam menyuarakan manhaj Salaf di seluruh jagad raya melalui majalahnya
“al-Manar” . Di dalam hal tersebut, beliau sungguh telah berjuang yang
patut disyukuri atasnya. Dan, semoga beliau mendapatkan pahala yang tersimpan
di sisi Rabbnya atas hal itu.
Di samping dikenal sebagai da’i yang mengajak kepada manhaj Salaf Shalih
dari sisi aqidah dan pemikiran serta tingkah laku, beliau juga memiliki upaya
yang patut disyukuri di dalam takhrij hadits shahih dan dla’if. Tidak dapat
disembunyikan oleh setiap muslim yang memiliki sedikit wawasan keislaman, bahwa
hadits-hadits shahih inilah satu-satunya jalan untuk memahami Kitabullah secara
benar sebab banyak sekali ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali melalui
penjelasan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Allah telah menekankan hal ini di dalam
firman-Nya:
“Dan telah Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) untuk menjelaskan
kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).
Ayat ini dan nash-nash lainnya
menguatkan kepada seorang Muslimi bahwa tidak ada jalan dalam memahami
al-Qur’an selain melalui jalan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Dan, Sayyid Muhammad
Rasyid Ridla memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu hadits, sampai
kepada upayanya meletakkannya dalam lingkup ilmiah, sosial dan politik. Banyak
sekali beliau mengingatkan kelemahan sebagian hadits dari sisi sanadnya melalui
majalah al-Manar yang merupakan ujung tombak yang baik dan mampu
mengalihkan perhatian kaum Muslimin untuk lebih fokus terhadap hadits-hadits
Rasulullah…Bilamana adalah sepatutnya orang yang memiliki kelebihan mengakui
kelebihan pemilikinya, maka saya mendapati diri saya pada kesempatan yang baik
ini harus mencatatkan kalimat ini agar diketahui oleh siapa saja yang telah
sampai kepadanya (membacanya) bahwa, pertama, saya atas karunia Allah memiliki
orientasi kepada manhaj Salaf. Kedua, dapat membeda-bedakan mana hadits-hadits
dla’if dan hadits shahih. Semua itu, keutamaan (andil besar) pertamanya kembali
kepada sosok Sayyid Ridla rahimahullah melalui beberapa volume dari
majalah al-Manar-nya yang merupakan hal pertama kali yang saya ketahui ketika
mulai bergiat di dalam menuntut ilmu…”
Dalam hal ini, memang ada beberapa kritikan pula yang diarahkan syaikh al-Albany terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridla namun tidak mengurangi kapasitasnya sebagai seorang penyeru kepada dakwah salafiyyah.
Sedangkan di dalam masalah Asmâ` dan Shifât, syaikh Rasyid
Ridla menetapkan sebagian besarnya berdasarkan manhaj Salaf.
Spesifikasi Umum
Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad ‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.
Spesifikasi Umum
Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad ‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.
Mengenai motivasinya menulis tafsir seperti itu, beliau menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan pembacanya dari tujuan-tujuan yang agung dan hidayah yang mulia di mana ada yang menyibukkannya dari al-Qur’an lantaran banyaknya bahasan-bahasan tentang I’rab, kaidah-kaidah nahwu, makna-makna dan istilah-istilah bayan. Di antaranya pula, mengalihkannya dengan debat kusir Ahli kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi dan fanatisme masing-masing terhadap aliran dan madzhabnya. Ada lagi di antaranya yang mengalihkannya dengan begitu banyaknya riwayat-riwayat yang tercampur dengan khurafat Israiliyyat. Sementara mufassir seperti al-Fakhrur Rozy, menurut beliau, menambah lagi hal baru dengan memasukkan ilmu-ilmu matematika, ilmu alam (eksakta) dan ilmu-ilmu lainnya terkait dengan beberapa aliran/faham yang ada pada masanya, seperti falak yunani, dsb. Cara seperti ini diikuti pula oleh ulama kontemporer (masanya syaikh Rasyid) dengan memasukkan beragam ilmu yang ada pada masa ini dan seni-seninya, seperti menulis beberapa pasal yang panjang dalam menafsirkan ayat, ketika membahas kata “as-Samâ`” (langit) dan “al-Ardl” (bumi). Yaitu dari sisi ilmu falak (astronomi), tumbuh-tumbuhan (anatomi) dan ilmu hewan (biologi) sehingga menghalangi pembacanya dari wahyu sebenarnya yang karenanya Allah menurunkan kitab-Nya.
Beliau menyebutkan, “Maka, adalah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap penafsiran yang mengarahkan perhatian pertamanya kepada petunjuk al-Qur’an dalam kapasitas yang sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan ketika mengulasnya. Demikian juga, yang sesuai dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an seperti dengan peringatan, berita gembira, hidayah dan perbaikan. Hal inilah yang anda dapatkan di dalam rincian pembahasan pada mukaddimah yang diambil dari kajian yang diberikan oleh syaikh kami, Ustadz Imam Muhammad ‘Abduh rahimahullah. Kemudian, terhadap titik perhatian pada tuntutan zaman ini dengan ungkapan yang mudah, memperhatikan tingkat pemahaman para pembaca, menyingkap syubuhat para pegiat dalam bidang filsafat, ilmu eksakta dan selainnya seperti yang akan anda lihat nanti. Dan hal inilah yang kiranya Allah mudahkan atas karunia-Nya kepada si lemah ini (maksudnya diri beliau dan ini pada pembukaan kitabnya tersebut-red.,).”
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada dirinya untuk menggali hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan beliau berbeda pendapat dengan Jumhur ulama dalam beberapa masalah, di mana beliau memberikan bantahan terhadap mereka dengan jawaban yang sedikit keras, seperti pendapat beliau yang membolehkan orang musafir untuk bertayammum sekalipun dia mendapatkan air. Beliau juga lebih memperluas penjelasan hukum-hukum fiqih sosial dan pembicaraan atas kondisi kontemporer umat baik di belahan timur maupun barat.
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan Nahwu kecuali sedikit sekali. Dia menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang indah, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Sangat sedikit menyinggung tentang Isrâ`îliyyât bahkan beliau mengingkari sikap para mufassir yang banyak mengetengahkannya. Akan tetapi beliau malah berbicara tentang hal yang serupa dengan itu, yaitu banyak menukil dari al-Kitab berita-berita dan atsar-atsar di dalam menafsirkan nama-nama yang tidak dikenal di dalam al-Qur’an atau melalui hal itu, beliau membantah pendapat sebagian para mufassir.
----------
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.59-65
- Muhammad Rasyîd Ridla, Thawdun Wa Ishlâhun, Da’watun Wa Dâ’iyah karya Khalid bin Fawzy bin ‘Abdul Hamîd Alu Hamzah
· Tafsir
AS-SA’DY
Nama
Mufassir
Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)
Nama Kitab
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan .
Spesifikasi Umum
Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.
Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”
Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”
Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”
Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”
’Aqidahnya
Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.
Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”
Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”
Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.
Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.
Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.
Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.
Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”
Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.
Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits
Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.
Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman alaihi salam., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”
Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]
Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair alaihi salam. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)
Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)
Nama Kitab
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan .
Spesifikasi Umum
Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.
Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”
Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”
Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”
Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”
’Aqidahnya
Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.
Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”
Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”
Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.
Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.
Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.
Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.
Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”
Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.
Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits
Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.
Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman alaihi salam., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”
Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]
Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair alaihi salam. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)
Sikapnya
Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”
Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83.
Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”
Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83.
· Tafsir
FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI
Nama
Mufassir
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani, al-Qadhi.
Nama Kitab
Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir.
’Aqidahnya
Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”
Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf.
Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.
Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.
Spesifikasi Umum
Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”
Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”
Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.
Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”
Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.
Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.
Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab lainnya.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.
Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.
Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.
CATATAN
Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.
SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani, al-Qadhi.
Nama Kitab
Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir.
’Aqidahnya
Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”
Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf.
Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.
Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.
Spesifikasi Umum
Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”
Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”
Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.
Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”
Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.
Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.
Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab lainnya.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.
Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.
Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.
CATATAN
Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.
SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.
AZ-ZAMAKHSYARI
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi, penganut aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah.
Nama Kitab
Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil.
Aqidahnya
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”
Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah.’
Spesifikasi Umum Kitab Tafsirnya
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah. Karena itu, harus berhati-hati dengannya, khususnya bagi pemula dalam bidang ini.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya.
Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’.
Sikapnya Terhadap Isra’iliyyat
Amat sedikit beliau menyinggung masalah Isra’iliyyat. Kalau pun ada, maka ia dahului dengan lafazh, “Diriwayatkan” atau dengan mengatakan di akhirnya, “Wallahu a’lam.”
Namun anehnya, ia malah menyebutkan beberapa hadits Mawdhu’ (palsu) mengenai keutamaan-keutamaan surat-surat di akhir setiap surat.
0 komentar:
Posting Komentar