Pengertian hadits Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berasal dari kata dhuifun yang berarti lemah lawan dari kataqawiy yang berarti kuat. Sedangkan dhaif berarti hadits yang tidak memenuhi hadits hasan. hadits dhaif disebut juga hadits mardud (ditolak). [Prof. Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ulumul hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. 1, h. 63-64.]
Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alas an yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.[wardahcheche.blogspot.com]
Klasifikasi hadits Dha’if
1. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a. hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal disebut haidts munqathi'.
b. hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.
c. hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw.
d. hadits Mu’dhal
Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
d. hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat. [Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, Bandung: al-Maarif. tt., hlm. 204-224.]
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
a. hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
b. hadits Matruk dan hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
3. Dha’if karena tiadanya Dhabit
a. hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
b. hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
c. hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
d. hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
a. hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
b. hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
5. Dha’if dari segi matan
a. hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.
b. hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadits”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadits”. Al Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan haditsnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadits tersebut melalui sanad ini adalah maudhu’, karena kedha’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).
Contoh hadits Dha’if berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dhabth, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu Al Auliya’ (8/252) dengan jalan;
Di dalam sanad hadits ini, Muhammad bin Ubaidullah Al ‘Urzumiy adalah rijal yang matruk(ditinggalkan haditsnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalihtetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadits dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadits tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadits meninggalkan haditsnya. [fimadani.com]
Contohnya hadits berikut ini :
Hadits ini dibawakan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya. ” al-arba’iin”, yang masyhur dengan sebutan “Arba’iin An-Nawawiyyah” . Beliau mengatakan,” hadits ini Shahih.” Begitu pula Abu Nu’aim membawakan hadits ini dalam kitabnya ” al-arba’iin” . hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani dan yang lainnya.
Namun Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah memberi sanggahan terhadap pernyataan Imam Nawawi di atas dalam kitab beliau ” Jaami’ Al-’uluum wal Hikam” , bahwa hadits ini sanadnya dha’if. Begitu pula ulama hadits lainnya menilai bahwa sanad hadits ini dha’if.
Meski demikian, matan daripada hadits ini benar adanya. Hal ini karena ada dalil yang membenarkan konteks daripada hadits ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,
Dan juga firman Allah ta’ala,
Contoh yang lain hadits yang berbunyi,
Imam Ash-Suyuti mengatakan dalam kitabnya “Ad-durar” bahwa hadits ini tidak ada asalnya. Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa hadits ini tidak ada asalnya.
Begitu pula ulama lainnya seperti Ad-Dumairi, Az-Zarkasyi dan yang lainnya. [Lihat: Kasyful Hunafa’: 2/64, Al-Aliya Al-Mansturah fil haditsi Al-Masyhurah: 1/167 dan Ad-Durar Al-Mansturah fil ahaditsi Al-Masyhurah: 1/14]
Namun, meski dari sisi sanad hadits ini tidak bisa dipertanggungjawabkan, akan tetapi pesan yang disampaikan dalam hadits ini benar. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan :
Di antara hadits shahih yang membenarkan matan daripada hadits ini adalah,
Contoh lainnya adalah hadits dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, ” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Para ulama hadits menilai bahwa hadits ini statusnya dha’if. Syaikh Albani misalnya, beliau menggolongkan hadits ini termasuk dalam hadits-hadits yang dha’if. [Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’iifah wal maudhu’ah, 2/142]. Begitu pula At-Tabrani mendha’ifkan status sanad hadits ini [lihat: Al-Mu’jam Al-Ausath, 6/240] Begitu pula Imam Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi [3/35, no: 6651].
Meski sanadnya dha’if, pesan yang disampaikan dalam hadits ini benar adanya. Karena ada dalil-dalil kuat yang membenarkan matan daripada hadits ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,”
Dan sabda Nabi Shallallahualaihiwasallam yang maknanya sama dengan hadits di atas, hanya saja beda redaksi,
Syaikh ‘Utsaimin pernah ditanya mengenai status keshahihan hadits ini. Lantas beliau menjawab,
أولاً هذا الحديث ضعيف ولكن معناه صحيح لأن الله تعالى قال (وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ) وقال تعالى عن هود (وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ) ولا شك أن الاستغفار سبب لمحو الذنوب وإذا محيت الذنوب تخلفت آثارها المرتبة عليها وحينئذٍ يحصل للإنسان الرزق والفرج من كل كرب ومن كل هم فالحديث ضعيف السند لكنه صحيح المعنى نعم.
“Pertama hadits ini dha’if akantetapi maknanya benar. Karena Allah ta’ala berfirman,
Dan firman Allah ta’ala tentang kisah Hud,
Tidak diragukan lagi bahwa istighfar merupakan sebab terhapusnya dosa. Jika dosa telah terhapus maka akan memberikan dampak yang bermacam-macam. Terkadang seorang yang terampuni dosanya ia akan mendapat rizki dab kebahagiaan dari setiap kesusahan dan kesedihan hidupnya. Maka hadits ini (memang) dha’if namun maknanya benar.” (Fatawa nurun ‘ala Ad-Darb li Al-’Utsaimin)
Jadi tidak setiap hadits yang bersanad dha’if lantas kita tolak begitu saja, tanpa melihat kebenaran matan hadits tersebut. Kita lihat dulu matan haditsnya, apakah ada ayat atau hadits shahih yang membenarkannya ataukah tidak. Bila tidak maka baru kita tolak. Bila ada maka matan hadits tersebut kita katakan benar, hanya saja sanadnya dha’if.
Syaikh Ibrahim bin Shalih Al-Khuraishiy mengatakan,
Menurut istilah hadits Dha'if adalah:
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيحولا صفات الحديث“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhai’if yang sangat lemah. [Mudasir, Ilmu hadits, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 157.] Karena kualitasnya dha’if, maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum. [Yuseran Salman, hadits-Hadits Thaharah Dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid; Studi Kualitas hadits & Implikasinya dalam Istinbath Hukum, Jogyakarta: UII Press, 2001.]
Kriteria hadits Dha'if
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif yaitu:اَلْحَدِيْثُ الضَعِيْفِ هُوَ الْحَدِيْثُ الَذِىْ لَمْ يُجْمَعْ صِفَا تُ الْحَدِ يْثِ الصَحِيْحِ وَلاَ صَفَا تِ الْحَدِ يْثِArtinya: “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadits-hadits hasan. Para hadits dhaif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu sebagai alas an yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan hadits, seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak bersambungnya sanad. hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.[wardahcheche.blogspot.com]
1. Dha’if karena tidak bersambung sanadnya
a. hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal disebut haidts munqathi'.
b. hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal sanadnya secara berturut-turut.
c. hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul saw.
- Mursal al-Jali, hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat dilakukan oleh tabi’in besar.
- Mursal al-Khafi, pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
d. hadits Mu’dhal
Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
d. hadits Mudallas
yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat. [Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, Bandung: al-Maarif. tt., hlm. 204-224.]
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
a. hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.
b. hadits Matruk dan hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau orang yang banyak lupa maupun ragu.
3. Dha’if karena tiadanya Dhabit
a. hadits Mudraj
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits
b. hadits Maqlub
hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi, atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya, yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
c. hadits Mudhtharib
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
d. hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. hadits Muharraf yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.
4. Dha’if karena Kejanggalan dan kecacatan
a. hadits Syadz
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.
b. hadits Mu’allal
hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari cacat
5. Dha’if dari segi matan
a. hadits Mauquf
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik sanadnya bersambung maupun terputus.
b. hadits Maqthu
hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan tabi’in.
6. hadits dha’if menurut derajat kedha’ifannya
Hadits dha’if menurut derajat kedha’ifannya dapat dibagi menjadi dua bagian;- Hadits yang kedha’ifannya ringan, tidak berat, dimana apabila didukung dengan hadits yang setingkat dengannya akan hilang dha’ifnya, dan meningkat menjadi hasan lighairihi. Seperti karena rawinya adalah seorang yang dha’if yang masih ditulis haditsnya, tetapi tidak bisa menjadi argumen apabila hanya diriwayatkan-nya seorang diri, atau karena di dalamsanadnya terdapat inqitha’ (keterputusan) karena mursal, atau tadhis.
- Apabila tingkat kedha’ifannya berat, maka tak ada artinya banyaknya tabi’ (pendukung), yaitu apabila rawinya pendusta atau tertuduh pendusta, matruk karena buruknya hafalan atau karena banyaknya kesalahan, atau majhul ‘ain yang tak diketahui sama sekali identitasnya.
عَنْ أَبِي دَاوُدَ النَّخَعِي،
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ الْغَطْفَانِي، عَنْ سَلِيْكٍ،
قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ، كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيْءُ
لِلنَّاسِ، وَيَحْرُقُ نَفْسَهُ
Dari Abu Dawud an-Nakha’i, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin
Ubaidilah Al Ghathfani, dari Salik, ia berkata; Aku mendengar Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Apabila seorang berilmu
mengetahui tetapi tidak mengamalkan, maka ia seperti lampu yang
menyinari orang lain tetapi membakar dirinya sendiri
Di dalam sanad ini, nama Abu Dawud an-Nakha’iy adalah Sulaiman bin Amr. Tentang rijal ini Imam Ahmad berkata, “Dia pernah memalsukan hadits”. Ibnu Ma’in berkata, “Dia orang yang paling dusta”. Murrah berkata, “Dia dikenal telah memalsukan hadits”. Al Bukhari berkata, “Dia ditinggalkan haditsnya, Qutaibah dan Ishaq menuduhnya sebagai pendusta”.
Dengan demikian hadits tersebut melalui sanad ini adalah maudhu’, karena kedha’ifan periwayatnya dalam hal ‘adalah (keadilannya).
Contoh hadits Dha’if berat yang disebabkan oleh kelemahan rawinya dalam dhabth, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam kitab Hilyatu Al Auliya’ (8/252) dengan jalan;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ خُبَيْقٍ،
حَدَّثَنَا يُوْسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ
الْعُرْزُمِيّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سَلِيْمٍ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ،
قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ
الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ، وَيَقُوْلُ: عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ،
فَإِنَّهُ ذُوْ بَرَكَةٍ، أَلاَ وَإِنَّ الْحَارَّ لاَ بَرَكَةَ فِيْهِ
Dari Abdillah bin Khubaiq, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin
Asbath, dari Muhammad bin ‘Ubaidillah Al Urmuzi, dari Shofwan bin Salim,
dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam membenci cos dan makanan panas, dan beliau bersabda; Hendaklah
kalian (memakan makanan) yang dingin, karena padanya terdapat berkah.
Ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada berkahnya.
Di dalam sanad hadits ini, Muhammad bin Ubaidullah Al ‘Urzumiy adalah rijal yang matruk(ditinggalkan haditsnya) karena buruk hafalannya. Pada mulanya ia adalah seorang yang shalihtetapi kemudian kitabnya hilang, sehingga dia mengajarkan hadits dari hafalannya. Dari itulah ia mengajarkan hadits tidak seperti yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang siqah, sehingga ahli hadits meninggalkan haditsnya. [fimadani.com]
Tidak Semua Konteks hadits Dha'if Kita Tolak
Terkadang ada hadits yang sanadnya dha’if namun matan (isi) haditsnya benar. Sanad yang dha’if tidak lantas menjadikan matan haditsnya cacat. Bila matan hadits tersebut didukung oleh dalil-dalil lain yang shahih, meski sanadnya ada cacat, maka matan hadits tersebut kita terima.Contohnya hadits berikut ini :
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
“Tak akan sempurna iman kalian, hingga hawa nafsu kalian tunduk terhadap risalah yang saya sampaikan.”
Hadits ini dibawakan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya. ” al-arba’iin”, yang masyhur dengan sebutan “Arba’iin An-Nawawiyyah” . Beliau mengatakan,” hadits ini Shahih.” Begitu pula Abu Nu’aim membawakan hadits ini dalam kitabnya ” al-arba’iin” . hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani dan yang lainnya.
Namun Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah memberi sanggahan terhadap pernyataan Imam Nawawi di atas dalam kitab beliau ” Jaami’ Al-’uluum wal Hikam” , bahwa hadits ini sanadnya dha’if. Begitu pula ulama hadits lainnya menilai bahwa sanad hadits ini dha’if.
Meski demikian, matan daripada hadits ini benar adanya. Hal ini karena ada dalil yang membenarkan konteks daripada hadits ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
” Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Dan juga firman Allah ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا
” Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Contoh yang lain hadits yang berbunyi,
علماء أمتي كأنبياء بني إسرائي
” Ulama di kalangan umatku bagaikan Nabi di kalangan Bani Israil.”
Imam Ash-Suyuti mengatakan dalam kitabnya “Ad-durar” bahwa hadits ini tidak ada asalnya. Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa hadits ini tidak ada asalnya.
Begitu pula ulama lainnya seperti Ad-Dumairi, Az-Zarkasyi dan yang lainnya. [Lihat: Kasyful Hunafa’: 2/64, Al-Aliya Al-Mansturah fil haditsi Al-Masyhurah: 1/167 dan Ad-Durar Al-Mansturah fil ahaditsi Al-Masyhurah: 1/14]
Namun, meski dari sisi sanad hadits ini tidak bisa dipertanggungjawabkan, akan tetapi pesan yang disampaikan dalam hadits ini benar. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin mengatakan :
ولهذا جاء في حديث لكنه ضعيف: عُلَمَاءُ
أُمَّتِيْ كَأَنْبِيَاءِ بَنِيْ إِسْرَائِيْل. معناه صحيح لكنه ضعيف من حيث
إنه مسند إلى النبي صلى الله عليه وسلم
Oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadits
yang statusnya dha’if : ” Ulama di kalangan umatku bagaikan Nabi di
kalangan Bani Israil.” Maknanya benar, namun bila ditinjau dari sisi
sanad bersambungnya sampai ke Nabi hadits ini dha’if.” (Syarh Arba’in An-Nawawiyyah, karya beliau. hadits ke 40)
Di antara hadits shahih yang membenarkan matan daripada hadits ini adalah,
العلماء هم ورثة الأنبياء
” Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR. Bukhari, Al-Hakim, Ibnu Majah, Tirmidzi)
من لزم الاستغفار جعل الله له من كل هم فرجا ومن كل ضيق مخرجا ورزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang senantiasa beristighfar maka Allah menjadikan
kesedihannya berubah bahagia, tiap kesempitannya ada jalan keluar, dan
diberi rezeki dari jalan yang tidak disangka.”
Para ulama hadits menilai bahwa hadits ini statusnya dha’if. Syaikh Albani misalnya, beliau menggolongkan hadits ini termasuk dalam hadits-hadits yang dha’if. [Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’iifah wal maudhu’ah, 2/142]. Begitu pula At-Tabrani mendha’ifkan status sanad hadits ini [lihat: Al-Mu’jam Al-Ausath, 6/240] Begitu pula Imam Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi [3/35, no: 6651].
Meski sanadnya dha’if, pesan yang disampaikan dalam hadits ini benar adanya. Karena ada dalil-dalil kuat yang membenarkan matan daripada hadits ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,”
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ
كَانَ غَفَّاراً . يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً .
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ
وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً (نوح: 10-12)
“Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb
kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada
kalian hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta
serta anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai
untukmu.” (QS. Nuh: 10-12 )
Dan sabda Nabi Shallallahualaihiwasallam yang maknanya sama dengan hadits di atas, hanya saja beda redaksi,
مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛
جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ
مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”
“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan
keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya
dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” ( HR. Ahmad dari Ibnu
Abbas dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim serta Ahmad Syakir )
Syaikh ‘Utsaimin pernah ditanya mengenai status keshahihan hadits ini. Lantas beliau menjawab,
أولاً هذا الحديث ضعيف ولكن معناه صحيح لأن الله تعالى قال (وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ) وقال تعالى عن هود (وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ) ولا شك أن الاستغفار سبب لمحو الذنوب وإذا محيت الذنوب تخلفت آثارها المرتبة عليها وحينئذٍ يحصل للإنسان الرزق والفرج من كل كرب ومن كل هم فالحديث ضعيف السند لكنه صحيح المعنى نعم.
“Pertama hadits ini dha’if akantetapi maknanya benar. Karena Allah ta’ala berfirman,
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ
تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
” Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada
waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Hud:3)
Dan firman Allah ta’ala tentang kisah Hud,
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ
ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
Dan (Hud berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu
bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras
atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan
janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS. Hud: 52)
Tidak diragukan lagi bahwa istighfar merupakan sebab terhapusnya dosa. Jika dosa telah terhapus maka akan memberikan dampak yang bermacam-macam. Terkadang seorang yang terampuni dosanya ia akan mendapat rizki dab kebahagiaan dari setiap kesusahan dan kesedihan hidupnya. Maka hadits ini (memang) dha’if namun maknanya benar.” (Fatawa nurun ‘ala Ad-Darb li Al-’Utsaimin)
Jadi tidak setiap hadits yang bersanad dha’if lantas kita tolak begitu saja, tanpa melihat kebenaran matan hadits tersebut. Kita lihat dulu matan haditsnya, apakah ada ayat atau hadits shahih yang membenarkannya ataukah tidak. Bila tidak maka baru kita tolak. Bila ada maka matan hadits tersebut kita katakan benar, hanya saja sanadnya dha’if.
Syaikh Ibrahim bin Shalih Al-Khuraishiy mengatakan,
وهنا ينتبه طالب العلم إلى أنه ليس كل ما قيل فيه إنه حديث ضعيف أن معناه لا بد أن يكون كذلك، بل ربما كان معناه معمولا به بإجماع العلماء؛ فتأمل وراجع” Ini perlu diperhatikan oleh para penuntut ilmu, bahwa tidak setiap hadits yang dinilai dha’if (sanadnya) lantas maknanya (matannya) juga otomatis ikut dha’if. Boleh jadi maknanya bisa diamalkan dengan kesepakatan para ulama.. Maka perhatikanlah hal ini dan pelajarilah.” ( At-Tanbihat Al-Mukhtasharah syarh Al-Wajibaat Al-Mutahatimaat Al-Ma’rifah ‘ala kulli muslim wa muslimatin, hal: 57)
Kitab-kitab yang memuat hadits dhoif
Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:- Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.
- Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif
- Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
- Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif. [sarjanaku.com]
0 komentar:
Posting Komentar