"Jangan sampai kita mengambil ilmu yang bukan dari ahlinya. Ambillah
ilmu dari orang yang mengamalkan ilmunya, yang takut kepada Allah,
jangan mengambil ilmu dari sembarangan orang dan di sembarangan tempat.". ~ Nasehat Al Allamah Al Faqih Al Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith
Keutamaan Mencari Ilmu Agama
Sabda Rasulullah S.a.w, diriwayat dari Abdullah bin Mas'ud R.a:
"Barang siapa yang mempelajari satu bab dari ilmu yang dia dapat
memperoleh manfaat dunia akhirat, maka hal itu lebih baik baginya dari
pada umur dunia 70.000 tahun yang dipergunakan puasa pada siang hari dan
salat pada malam hari dalam keadaan diterima, tidak ditolak."
Dari Mu'adz bin Jabal Ra, ia berkatan, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda:
"Pelajarilah ilmu, sebab mempelajari ilmu karena Allah adalah
kebaikan, mendaras ilmu sama dengan bertasbih, membahas ilmu sama dengan
berjuang, mencari ilmu adalah ibadah, mengajarkan ilmu adalah sedekah,
memberikan ilmu kepada yang memerlukan adalah pendekatan diri kepada
Allah, memikirkan ilmu sebanding dengan pahala puasa dan memusyawarahkan
ilmu sebanding pahala salat malam."
Rasulullah S.a.w bersabda:
"Tuntutlah ilmu, meskipun di antara kamu dan ilmu terbentang lautan api."
Sabda Rasulullah S.a.w:
"Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai ke liang lahat."
Mempelajari ilmu adalah wajib setiap saat dan keadaan. Sebagian dari para ulama salaf (ulama dahulu) berpendapat bahwa ilmu ada empat macam:
1). Ilmu untuk membetulkan amalan agama.
2). Ilmu kedokteran untuk menyehatkan badan.
3). Ilmu falak untuk menentukan waktu salat.
4). Ilmu nahwu untuk membetulkan bacaan.
Ilmu dapat dihasilkan dengan dua cara: Usaha, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan jalan belajar dan membaca secara terus menerus dan Mendengarkan, yakni bertemu langsung dengan seorang guru (bertalaqqi), berguru dan belajar dari mereka (para ulama) dengan mendengarkan permasalahan agama dan dunia. Cara yang terakhir ini tidak dapat berhasil kecuali dengan mencintai Syekh (guru/ulama), bergaul dengan mereka, menghadiri majelis-majelis mereka dan meminta penjelasan dari mereka.
Orang yang menuntut ilmu, wajib berniat dalam usaha menghasilkan ilmu tersebut:
1). Mencari keridhaan Allah
2). Mencari kebahagiaan akhirat
3). Menghilangkan kebodohan dirinya dan semua orang yang bodoh
4). Menghidupkan agama
5). Mengabadikan agama dengan ilmu
6). Mensyukuri kenikmatan akal dan kesehatan badan
Ia tak boleh berniat agar manusia menghadap kepadanya, mencari kesenangan dunia dan kemuliaan di depan pejabat, dan sebagainya.
Pentingnya Menyebarkan Ilmu Agama
Nabi Muhammad S.a.w bersabda:
"Hendaklah orang yang hadir di antara kamu sekalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir."
Wajib bagi seseorang yang mendengarkan untuk menyampaikan segala sesuatu yang didengarkan kepada orang yang tidak hadir. Hadits ini ditujukan kepada para sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai hari kiamat. Jadi wajib bagi seseorang yang memiliki (ahli) ilmu untuk menyampaikan (tabligh). Setiap orang yang mengetahui satu masalah adalah ahli ilmu dalam masalah tersebut. Setiap orang awam yang mengetahui syarat shalat, wajib mengajarkan kepada orang lain. Jika ia tidak mau mengajarkan, maka ia bersekutu dalam dosa dengan orang yang belum mengetahuinya.
Pada setiap masjid dan wilayah (desa, kampung, dll), wajib ada seorang ahli agama (seperti Ustadz, Kyai atau Alim Ulama lainnya) yang mengajar kepada manusia dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai masalah-masalah agama. Demikian juga halnya di setiap desa. Setiap ahli agama setelah selesai melaksanakan fardlu 'ain, yaitu mengajar di daerahnya sendiri, melakukan fardlu kifayah, yaitu keluar ke daerah yang berdekatan dengan daerahnya, untuk mengajarkan agama dan kewajiban syariat kepada penduduk wilayah tersebut. Ahli agama tersebut wajib membawa bekal untuk dimakan sendiri, dan tidak boleh ikut makan makanan orang yang diajar.
Jika sudah ada salah seorang (ahli ilmu agama atau Alim Ulama) yang menunaikan kewajiban ini (yakni menyampaikan/mengajarkan) maka gugurlah dosa dari para ahli ilmu yang lain. Jika tidak ada sama sekali orang yang menunaikan kewajiban ini, maka dosanya akan menimpa semua orang. Orang yang alim berdosa karena keteledorannya tidak mau pergi (mengajar/menyampaian) ke daerah tersebut; sedangkan orang yang bodoh berdosa karena keteledorannya dalam meninggalkan menuntut ilmu. Ini adalah pendapat Syekh Ahmad as-Suhaimi yang dinukil oleh Imam Al Ghazali.
Ada 3 tanda bagi orang alim (ahli ilmu) yang ingin mencari kebahagiaan akhirat:
1). Ia tidak mencari kesenangan dunia dengan ilmunya.
2). Kesibukannya dalam (menuntut atau mengajarkan) ilmu dimaksudkan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan akhirat, sehingga ia memperhatikan ilmu yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki lahir (amal jariah) dan bathinnya (amal qulub), dan juga orang lain.
3). Ia menyandarkan ilmunya pada taklid (mengikuti) kepada Pemilik Syariat, Nabi Muhammad S.a.w, dalam ucapan dan perbuatannya. (Baca juga: Ijtihad, Taqlid dan Bermadzhab)
Tanda orang yang 'ikhlas' (dalam hal ini tidak mencari kesenangan dunia) dengan ilmunya, ada lima sebagai berikut:
1). Ucapannya tidak menyalahi perbuatannya, sehingga ia menjadi orang yang pertama kali melakukan perintah dan meninggalkan larangan (sebagaimana kebaikan yang ia serukan).
2). Ia memperhatikan ilmu menurut kadar kemampuannya, dan senang kepada ketaatan serta menjauhi ilmu yang memperbanyak perdebatan.
3). Ia menjauhi kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, perkakas rumah tangga dan pakaian.
4). Ia menahan diri dari mempergauli para pejabat, kecuali untuk memberi nasihat kepadanya atau untuk menolak kezhaliman, atau untuk memberikan pertolongan dalam hal yang diridhai oleh Allah Ta'ala.
5). Ia tidak cepat-cepat memberikan fatwa kepada orang yang bertanya, tetapi mengatakan: "Tanyakan kepada orang yang ahli memberi fatwa!", karena kehati-hatiannya. Ia mencegah diri dari berijtihad dalam sesuatu masalah, jika masalah tersebut tidak jelas bagi dirinya. Bahkan ia mengatakan: "Saya tidak tahu!" apabila ijtihad tersebut tidak mudah baginya (bukan bidangnya atau di luar kemampuannya)..
Nasehat Untuk Para Penuntut Ilmu
Al Habib Umar bin Hafidz menguraikan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para penuntut ilmu (thalibul ilmi). Beberapa nasehat yang beliau sampaikan diantaranya adalah:
1). Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah S.w.t, karena bisa menuntut ilmu di pesantren yang 'Ahlussunnah wal Jama’ah' dan dapat melanjutkan menimba ilmu di kota Tarim, Yaman yang merupakan kota ilmu dan ulama. Di kota yang penuh berkah ini, banyak dijumpai para habaib dan alim ulama yang sanad keilmuannya bersambung sampai kepada Rasulullah S.a.w. Lebih jauh lagi, jumlah ulama di Tarim tidak hanya sebatas hitungan jari. Akan tetapi mencapai bilangan ribuan.
2). Seorang penuntut ilmu harus rajin bangun malam (qiyamullail).
3). Seorang pencari ilmu harus mempunyai etika yang baik (akhlaqul karimah).
4). Urgensi menebarkan rasa cinta kasih (al-mahabbah) dan persaudaraan (al-ukhuwah) kepada seluruh umat manusia secara umum, umat Islam secara khusus dan Ahlussunnah wal Jama’ah secara lebih khusus (akhash).
5). Menghormati ulama dan para guru (masyayikh) yang telah membimbing kita.
6). Bagi penuntut ilmu, hendaknya selalu menjadikan Al-Qur'an sebagai pegangan hidup, baik dengan membacanya, menghayati makna kandungannya dan merepresentasikannya dalam kehidupan nyata.
7). Cermat (tahqiq) serta serius dalam memahami kalam ulama yang tertuang dalam teks (matan) kitab. Memahami kalam ulama secara utuh, tidak sepotong-potong. Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri pernah mengatakan: “Barangsiapa yang menguasai matan (teks) sebuah kitab dengan sempurna, maka ia pasti mendapatkan berbagai disiplin keilmuan.”.
"Semoga bermanfaat untuk kita semua, dan menjadikan ilmu kita bermanfaat dunia dan akhirat.". ~ Nasehat Al Habib Umar bin Hafidz ~
Internet dan Buku Bukanlah Guru
Al Habib Munzir bin Fuad al-Musawa memiliki sebuah nasehat bijak kepada para penuntut ilmu (pembaca buku). Beliau berkata: Orang-orang yang berguru tidak kepada guru, namun kepada buku saja, maka dia tidak akan menemukan kesalahannya. Karena, buku tidak bisa menegur, namun kalau guru bisa menegur jika dia salah dalam memahami atau dia bisa bertanya jika tidak faham. Namun kalau buku, jika dia tidak faham, dia hanya terikat dengan pemhamannya sendiri.
Bukannya kita tidak boleh membaca buku!, boleh kita membaca buku apa saja, namun kita harus mempunyai satu guru yang menjadi rujukan kita, dan bisa kita bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah atau kita tidak tahu makna dari buku yang kita baca.
Apalagi jika berguru kepada internet, dikhawatirkan lebih banyak mudharatnya. Memang, tidak semua yang ada di internet adalah tidak benar. Banyak sekali kebenaran yang ada di sana, akan tetapi kebenaran itu belum teruji dan masih perlu dicermati lebih lanjut, karena bagaimanapun, internet bukanlah guru yang memiliki sanad yang jelas, bahkan internet sering menjadi penyebar hal-hal negatif. Demikianlah seharusnya memposisikan internet sebagai media yang harus 'dikonfirmasi' kembali berbagai informasi di dalamnya. Tidak layak untuk langsung ditelan, tetapi harus 'dimasak' lebih dahulu. (diteliti, dicermati, dikonfirm kepada guru).
Kenapa Ilmu Agama Wajib Bersanad?
Melalui mesin pencari (search engine) seperti google (yakni search, copy-paste) atau lainnya tidak cukup untuk memahami ilmu agama yang sebenarnya. Oleh karena itu kita butuh guru sebagai mursyid (penunjuk) agar jangan sampai salah memahami tulisan-tulisan (artikel), ilmu-ilmu yang bertebaran di Internet. Dan akhirnya dikhawatirkan tanpa pemahaman yang benar, kita berani berfatwa sembarangan hingga jauh dari kebenaran.
Disebutkan tentang pentingnya berguru langsung, dalam bab ilmu:
"Bersambung itu lebih baik daripada terputus"
Belajar berguru langsung dari guru, itu lebih mulia dan lebih baik untuk pemahaman yang benar.
"Orang yang paling berani diantara kamu dalam memberi fatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka"
Inilah alasan kenapa harus berhati-hati dalam hal yang belum kita fahami sebenarnya. Tak usah takut atau malu untuk mengatakan: "Saya belum tahu tentang itu..." atau "Akan saya tanyakan kepada ulama yang lebih faham tentang itu". Supaya kita selamat dalam memberi jawaban yang (terkesan) serampangan "asal-asalan tanpa dalil" dalam masalah hukum agama.
Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang hamba hanyalah sedikit dan sangat terbatas. Ia tidak dapat meliputi segala bidang ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia. Allah Ta'ala berfirman: "Wa Maa Uutiitum Minal 'Ilmi illaa Qaliilan" (Dan kamu tidaklah diberi ilmu (oleh Allah) kecuali hanya sedikit).
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata: "Telah Shahih dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa mereka berdua berkata: "Barangsiapa memberikan fatwa (jawaban) dalam setiap permasalahan yang ditanyakan oleh manusia, maka ia adalah orang kurang akalnya.". (I'laamu Al-Muwaqqi'iin, I/34, dan II/185).
"Teruslah belajar, carilah ilmu dengan para guru demi menghindari pemahaman yang sesat. Tak usah malu belajar karena faktor usia, dan jangan malu mengatakan kita belum mengerti beberapa hal. Semoga Allah memberi kita ilmu (yang) bermanfaat dunia dan akhirat dan menyelamatkan kita dari azab neraka akibat berfatwa sesat dan menyesatkan, dan menjadikan kita pecinta ilmu dan orang yang memiliki ilmu agama" ~ Nasehat Al Habib Quraisy Baharun ~
Nabi Muhammad S.A.W Telah Bersabda Supaya Umat Mengikuti Sanad
Keutamaan Mencari Ilmu Agama
Sabda Rasulullah S.a.w, diriwayat dari Abdullah bin Mas'ud R.a:
مَنْ تَعَلَّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ
يَنْتَفِعُ بِهِ فِى آخِرَتِهِ وَدُنْيَاهُ كَانَ خَيْرًا لَهُ مِنْ عُمْرِ
الدُّنْيَا سَبْعَةَ آلاَفِ سَنَةٍ صِيَامَ نَهَارِهَا وَقِيَامَ
لَيَالِيْهَا مَقْبُوْلاً غَيْرَ مَرْدُوْدٍ
Dari Mu'adz bin Jabal Ra, ia berkatan, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda:
تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ فَاِنَّ
تَعَلُّمَهُ ِللهِ حَسَنَةٌ وَدِرَاسَتَهُ تَسْبِيْحٌ وَالْبَحْثَ عَنْهُ
جِهَادٌ وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ وَتَعْلِيْمَهُ صَدَقَةٌ وَبَذْلَهُ
ِلاَهْلِهِ قُرْبَةٌ وَالْفِكْرَ فِى الْعِلْمِ يَعْدِلُ الصِّيَامَ
وَمُذَاكَرَتَهُ تَعْدِلُ الْقِيَامَ
Rasulullah S.a.w bersabda:
اُطْلُبِ الْعِلْمَ وَلَوْ كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ بَحْرٌ مِنَ النَّارِ
Sabda Rasulullah S.a.w:
اُطْلُبِ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلَى اللَّحْدِ
Mempelajari ilmu adalah wajib setiap saat dan keadaan. Sebagian dari para ulama salaf (ulama dahulu) berpendapat bahwa ilmu ada empat macam:
1). Ilmu untuk membetulkan amalan agama.
2). Ilmu kedokteran untuk menyehatkan badan.
3). Ilmu falak untuk menentukan waktu salat.
4). Ilmu nahwu untuk membetulkan bacaan.
Ilmu dapat dihasilkan dengan dua cara: Usaha, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan jalan belajar dan membaca secara terus menerus dan Mendengarkan, yakni bertemu langsung dengan seorang guru (bertalaqqi), berguru dan belajar dari mereka (para ulama) dengan mendengarkan permasalahan agama dan dunia. Cara yang terakhir ini tidak dapat berhasil kecuali dengan mencintai Syekh (guru/ulama), bergaul dengan mereka, menghadiri majelis-majelis mereka dan meminta penjelasan dari mereka.
Orang yang menuntut ilmu, wajib berniat dalam usaha menghasilkan ilmu tersebut:
1). Mencari keridhaan Allah
2). Mencari kebahagiaan akhirat
3). Menghilangkan kebodohan dirinya dan semua orang yang bodoh
4). Menghidupkan agama
5). Mengabadikan agama dengan ilmu
6). Mensyukuri kenikmatan akal dan kesehatan badan
Ia tak boleh berniat agar manusia menghadap kepadanya, mencari kesenangan dunia dan kemuliaan di depan pejabat, dan sebagainya.
Pentingnya Menyebarkan Ilmu Agama
Nabi Muhammad S.a.w bersabda:
لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ
Wajib bagi seseorang yang mendengarkan untuk menyampaikan segala sesuatu yang didengarkan kepada orang yang tidak hadir. Hadits ini ditujukan kepada para sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai hari kiamat. Jadi wajib bagi seseorang yang memiliki (ahli) ilmu untuk menyampaikan (tabligh). Setiap orang yang mengetahui satu masalah adalah ahli ilmu dalam masalah tersebut. Setiap orang awam yang mengetahui syarat shalat, wajib mengajarkan kepada orang lain. Jika ia tidak mau mengajarkan, maka ia bersekutu dalam dosa dengan orang yang belum mengetahuinya.
Pada setiap masjid dan wilayah (desa, kampung, dll), wajib ada seorang ahli agama (seperti Ustadz, Kyai atau Alim Ulama lainnya) yang mengajar kepada manusia dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai masalah-masalah agama. Demikian juga halnya di setiap desa. Setiap ahli agama setelah selesai melaksanakan fardlu 'ain, yaitu mengajar di daerahnya sendiri, melakukan fardlu kifayah, yaitu keluar ke daerah yang berdekatan dengan daerahnya, untuk mengajarkan agama dan kewajiban syariat kepada penduduk wilayah tersebut. Ahli agama tersebut wajib membawa bekal untuk dimakan sendiri, dan tidak boleh ikut makan makanan orang yang diajar.
Jika sudah ada salah seorang (ahli ilmu agama atau Alim Ulama) yang menunaikan kewajiban ini (yakni menyampaikan/mengajarkan) maka gugurlah dosa dari para ahli ilmu yang lain. Jika tidak ada sama sekali orang yang menunaikan kewajiban ini, maka dosanya akan menimpa semua orang. Orang yang alim berdosa karena keteledorannya tidak mau pergi (mengajar/menyampaian) ke daerah tersebut; sedangkan orang yang bodoh berdosa karena keteledorannya dalam meninggalkan menuntut ilmu. Ini adalah pendapat Syekh Ahmad as-Suhaimi yang dinukil oleh Imam Al Ghazali.
Ada 3 tanda bagi orang alim (ahli ilmu) yang ingin mencari kebahagiaan akhirat:
1). Ia tidak mencari kesenangan dunia dengan ilmunya.
2). Kesibukannya dalam (menuntut atau mengajarkan) ilmu dimaksudkan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan akhirat, sehingga ia memperhatikan ilmu yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki lahir (amal jariah) dan bathinnya (amal qulub), dan juga orang lain.
3). Ia menyandarkan ilmunya pada taklid (mengikuti) kepada Pemilik Syariat, Nabi Muhammad S.a.w, dalam ucapan dan perbuatannya. (Baca juga: Ijtihad, Taqlid dan Bermadzhab)
Tanda orang yang 'ikhlas' (dalam hal ini tidak mencari kesenangan dunia) dengan ilmunya, ada lima sebagai berikut:
1). Ucapannya tidak menyalahi perbuatannya, sehingga ia menjadi orang yang pertama kali melakukan perintah dan meninggalkan larangan (sebagaimana kebaikan yang ia serukan).
2). Ia memperhatikan ilmu menurut kadar kemampuannya, dan senang kepada ketaatan serta menjauhi ilmu yang memperbanyak perdebatan.
3). Ia menjauhi kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, perkakas rumah tangga dan pakaian.
4). Ia menahan diri dari mempergauli para pejabat, kecuali untuk memberi nasihat kepadanya atau untuk menolak kezhaliman, atau untuk memberikan pertolongan dalam hal yang diridhai oleh Allah Ta'ala.
5). Ia tidak cepat-cepat memberikan fatwa kepada orang yang bertanya, tetapi mengatakan: "Tanyakan kepada orang yang ahli memberi fatwa!", karena kehati-hatiannya. Ia mencegah diri dari berijtihad dalam sesuatu masalah, jika masalah tersebut tidak jelas bagi dirinya. Bahkan ia mengatakan: "Saya tidak tahu!" apabila ijtihad tersebut tidak mudah baginya (bukan bidangnya atau di luar kemampuannya)..
Nasehat Untuk Para Penuntut Ilmu
1). Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah S.w.t, karena bisa menuntut ilmu di pesantren yang 'Ahlussunnah wal Jama’ah' dan dapat melanjutkan menimba ilmu di kota Tarim, Yaman yang merupakan kota ilmu dan ulama. Di kota yang penuh berkah ini, banyak dijumpai para habaib dan alim ulama yang sanad keilmuannya bersambung sampai kepada Rasulullah S.a.w. Lebih jauh lagi, jumlah ulama di Tarim tidak hanya sebatas hitungan jari. Akan tetapi mencapai bilangan ribuan.
2). Seorang penuntut ilmu harus rajin bangun malam (qiyamullail).
3). Seorang pencari ilmu harus mempunyai etika yang baik (akhlaqul karimah).
4). Urgensi menebarkan rasa cinta kasih (al-mahabbah) dan persaudaraan (al-ukhuwah) kepada seluruh umat manusia secara umum, umat Islam secara khusus dan Ahlussunnah wal Jama’ah secara lebih khusus (akhash).
5). Menghormati ulama dan para guru (masyayikh) yang telah membimbing kita.
6). Bagi penuntut ilmu, hendaknya selalu menjadikan Al-Qur'an sebagai pegangan hidup, baik dengan membacanya, menghayati makna kandungannya dan merepresentasikannya dalam kehidupan nyata.
7). Cermat (tahqiq) serta serius dalam memahami kalam ulama yang tertuang dalam teks (matan) kitab. Memahami kalam ulama secara utuh, tidak sepotong-potong. Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri pernah mengatakan: “Barangsiapa yang menguasai matan (teks) sebuah kitab dengan sempurna, maka ia pasti mendapatkan berbagai disiplin keilmuan.”.
"Semoga bermanfaat untuk kita semua, dan menjadikan ilmu kita bermanfaat dunia dan akhirat.". ~ Nasehat Al Habib Umar bin Hafidz ~
Internet dan Buku Bukanlah Guru
Al Habib Munzir bin Fuad al-Musawa memiliki sebuah nasehat bijak kepada para penuntut ilmu (pembaca buku). Beliau berkata: Orang-orang yang berguru tidak kepada guru, namun kepada buku saja, maka dia tidak akan menemukan kesalahannya. Karena, buku tidak bisa menegur, namun kalau guru bisa menegur jika dia salah dalam memahami atau dia bisa bertanya jika tidak faham. Namun kalau buku, jika dia tidak faham, dia hanya terikat dengan pemhamannya sendiri.
Bukannya kita tidak boleh membaca buku!, boleh kita membaca buku apa saja, namun kita harus mempunyai satu guru yang menjadi rujukan kita, dan bisa kita bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah atau kita tidak tahu makna dari buku yang kita baca.
Apalagi jika berguru kepada internet, dikhawatirkan lebih banyak mudharatnya. Memang, tidak semua yang ada di internet adalah tidak benar. Banyak sekali kebenaran yang ada di sana, akan tetapi kebenaran itu belum teruji dan masih perlu dicermati lebih lanjut, karena bagaimanapun, internet bukanlah guru yang memiliki sanad yang jelas, bahkan internet sering menjadi penyebar hal-hal negatif. Demikianlah seharusnya memposisikan internet sebagai media yang harus 'dikonfirmasi' kembali berbagai informasi di dalamnya. Tidak layak untuk langsung ditelan, tetapi harus 'dimasak' lebih dahulu. (diteliti, dicermati, dikonfirm kepada guru).
Kenapa Ilmu Agama Wajib Bersanad?
Melalui mesin pencari (search engine) seperti google (yakni search, copy-paste) atau lainnya tidak cukup untuk memahami ilmu agama yang sebenarnya. Oleh karena itu kita butuh guru sebagai mursyid (penunjuk) agar jangan sampai salah memahami tulisan-tulisan (artikel), ilmu-ilmu yang bertebaran di Internet. Dan akhirnya dikhawatirkan tanpa pemahaman yang benar, kita berani berfatwa sembarangan hingga jauh dari kebenaran.
Disebutkan tentang pentingnya berguru langsung, dalam bab ilmu:
المتصل خير من المنفصل
Belajar berguru langsung dari guru, itu lebih mulia dan lebih baik untuk pemahaman yang benar.
أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار
Inilah alasan kenapa harus berhati-hati dalam hal yang belum kita fahami sebenarnya. Tak usah takut atau malu untuk mengatakan: "Saya belum tahu tentang itu..." atau "Akan saya tanyakan kepada ulama yang lebih faham tentang itu". Supaya kita selamat dalam memberi jawaban yang (terkesan) serampangan "asal-asalan tanpa dalil" dalam masalah hukum agama.
Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang hamba hanyalah sedikit dan sangat terbatas. Ia tidak dapat meliputi segala bidang ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia. Allah Ta'ala berfirman: "Wa Maa Uutiitum Minal 'Ilmi illaa Qaliilan" (Dan kamu tidaklah diberi ilmu (oleh Allah) kecuali hanya sedikit).
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata: "Telah Shahih dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa mereka berdua berkata: "Barangsiapa memberikan fatwa (jawaban) dalam setiap permasalahan yang ditanyakan oleh manusia, maka ia adalah orang kurang akalnya.". (I'laamu Al-Muwaqqi'iin, I/34, dan II/185).
"Teruslah belajar, carilah ilmu dengan para guru demi menghindari pemahaman yang sesat. Tak usah malu belajar karena faktor usia, dan jangan malu mengatakan kita belum mengerti beberapa hal. Semoga Allah memberi kita ilmu (yang) bermanfaat dunia dan akhirat dan menyelamatkan kita dari azab neraka akibat berfatwa sesat dan menyesatkan, dan menjadikan kita pecinta ilmu dan orang yang memiliki ilmu agama" ~ Nasehat Al Habib Quraisy Baharun ~
Nabi Muhammad S.A.W Telah Bersabda Supaya Umat Mengikuti Sanad
Dari Abdullah ibn Mas’ud R.a, Rasulullah S.a.w, bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, No. 2652, Muslim, No. 6635).
Rasulullah S.a.w bersabda: “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan
akal pikirannya sendiri (tanpa guru) dan merasa benar, maka sesungguhnya
dia telah berbuat kesalahan.”. (HR. Ahmad).
Dari Ibnu ‘Abbas R.a berkata, Rasulullah S.a.w bersabda: “Di dalam
agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya
agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.”. (HR. Ath Thabarani).
Ibnul Mubarak berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah
bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau
dengan apa saja yang diinginkannya.”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahihnya 1/47 No. 32 ).
Dari Ibnu Abbas R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: ”Barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka.”. (HR.At Tirmidzi).
Imam Malik R.a berkata: “Hendaklah seseorang penuntut itu hafalannya (matan hadith dan ilmu) daripada Ulama, bukan daripada Suhuf (lembaran)”. (Al-Kifayah oleh Imam Al Khatib m/s 108).
Imam Asy Syafi’i R.a mengatakan: “Tiada ilmu tanpa sanad.”. Beliau juga berkata: “Barangsiapa
yang bertafaqquh (coba memahami agama) melalui isi kandungan buku-buku,
maka dia akan mensia-siakan hukum (kefahaman sebenar-benarnya).”. (Tazkirah As-Sami’e: 87).
Juga berkata Imam Asy Syafi’i R.a: “Orang yang belajar ilmu tanpa
sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya
malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa
dan ia tak tahu”. (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Ats Tsauri R.a: “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak: “Pelajar
ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya
tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad.”. (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Al-Hafidh Imam Ats Tsauri R.a mengatakan: “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga.”.
Bahkan Al Imam Abu Yazid Al Bustamiy R.a berkata: “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan.”. (Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203).
Asy Syeikh As Sayyid Yusuf Bakhour Al Hasani menyampaikan bahwa: “Maksud
dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar
untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu
mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga
meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya
dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan demikian, keterjagaan
al-Qur'an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan
pengamalan.“.
Sheikh Ibn Jama’ah berkata: “Sebesar-besar musibah adalah dengan bergurukan sahifah (lembaran-lembaran atau buku).”. (Ibn Al-Jama’ah: 87 dan dinukilkan dalam Muqoddimah Syarh Al-Maqawif 1/90).
Imam Badruddin ibn Jama’ah: “Hendaklah seseorang penuntut ilmu itu
berusaha mendapatkan Syeikh yang mana dia seorang yang menguasai
ilmu-ilmu Syariah secara sempurna, yang mana dia melazimi para syeikh
yang terpercaya di zamannya yang banyak mengkaji dan dia lama bersahabat
dengan para ulama’, bukan berguru dengan orang yang mengambil ilmu
hanya dari lembar kertas dan tidak pula bersahabat dengan para syeikh
(ulama’) yang agung.”. (Tazkirah As-Sami’ wa Al-Mutakallim 1/38).
Nabi S.A.W Memerintahkan Agar Umat Berpegang Teguh Pada Jama'ah Mayoritas
Dari Anas bin Malik R.a berkata: “Aku mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya
umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan, oleh karena itu, apabila
kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok
mayoritas.”. (HR. Ibnu Majah No. 3950, Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan Ath Thabarani dalam Musnad Al Syamiyyin (2069).
Itulah beberapa hadits dan dalil-dalil tentang pentingnya menuntut ilmu dengan berguru dan bersanad.
"Barangsiapa yang cinta pada Ulama, duduk bersama mereka, belajar
dengan mereka, membantu mereka, memuliakan mereka, jika mereka bukan
ulama dan bukan menjadi ulama maka Allah akan jadikan keturunannya ada
yang menjadi Ulama". ~ Nasehat Al Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus ~
Wal akhir, marilah kita tutup dengan doa. Pada Kitab Al-Adzkar
Imam An-Nawawi, dalam sebuah riwayat Ibnu Majah, dari Ummu Salamah R.a,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam senantiasa membaca
doa ini di waktu pagi:
اللهم اني أسألك علماً نافعا،ورزقاً طيباً وعملاً متقبلاً
"Allahumma Inni As Aluka 'ilman Naafi'an Wa Rizqan Thayiban Wa 'Amalan Mutaqabbalan".
Artinya: "Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, Ilmu yang bermanfaat, Rezeki yang baik (halal) dan Amal yang diterima".
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
Wallahu a'lam bishshowab, Wassalam.
0 komentar:
Posting Komentar