(QS. Al-Mu'min : 60)
"Dan berfirman Tuhanmu "Memohonlah (mendoalah) kepada-Ku, Aku pasti perkenankan permohonan (doa) mu itu."
(Q.S. Al-Baqarah: 155)
“Wahai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan melalui Sabar dan Shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
(Q.s. al-Mujadalah : 11)
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmupengetahuan beberapa derajat"
Rabu, 28 Oktober 2015
Thaharah [Hadits Ke - 6]
وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ
الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ
صَحِيحٌ
Seorang laki-laki yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air
perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air
bersama-sama." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya
benar.
DERAJAT
HADITS:
Hadits ini shahih.
Asy Syaukani berkata yang ringkasnya,
“Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud
meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi
berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhoifan hadits ini”. Ini adalah sisi
celaan.
Adapun yang men-tsiqoh-annya.
At- Tirmidzi berkata, “hadits ini
hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”.
Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul
Bari, “sungguh An Nawawi telah asing ketika menyatakan ijma’ atas kedhoifannya,
padahal perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya).
Dan celaan Al Baihaqi atas mursalnya
hadits ini tertolak, karena mubham (ketidakjelasan) sahabat tidak mengapa.
Celaan Ibnu Hazm atas dhoifnya Hamid Al Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid
bin Abdullah Al Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al Himyari, dan perawi ini
tsiqoh (terpercaya) lagi faqih.
Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di
Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih.
Ibnu Abdil Hadiy berkata di Al
Muharrar, “Al Humaidi menshahihkannya”, dan Al Baihaqi berkata,
“perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya)”.
FAEDAH
HADITS:
1. Larangan bagi laki-laki mandi
dengan air bekas bersuci wanita.
2. Larangan bagi wanita mandi dengan
air bekas bersuci laki-laki.
Yang disyariatkan adalah mandi bersama
dan mengambil air bersama.
Ada hadits di Shahih Bukhori dari Ibnu
Umar bahwa dahulu laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mereka wudhu’ bersama-sama, di dalam riwayat Hisyam bin Ammar dari
Malik berkata, “di dalam satu wadah”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu
Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur lain.
Kemutlakan ini dimuqoyyad (dibatasi)
bahwa maksudnya bukan laki-laki yang asing bagi wanita, akan tetapi maksud dari
laki-laki dan wanita tersebut adalah suami istri, atau orang yang dihalalkan
melihat anggota-anggota wudhu’.
Thaharah [Hadits Ke - 5]
HADITS KE-5
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
لِلْبُخَارِيِّ
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا
يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ وَلِأَبِي
دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ
الْجَنَابَةِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika
dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim.
Menurut Riwayat Imam Bukhari: "Janganlah sekali-kali seseorang
di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia
mandi di dalamnya."
Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah
seseorang mandi junub di dalamnya."
KOSA
KATA:
- Kata الدائم (ad daa-im)
artinya tenang dan diam (tidak mengalir)
- Kata الذي لا يجري (alladzi
laa yajri) = yang tidak mengalir, merupakan penafsiran dari air yang
tenang.
- Kata جنب (junub)
artinya mengalami janabah, yaitu hadats yang diakibatkan oleh hubungan intim
suami-istri atau keluarnya air mani.
- Kata منه (minhu) =
darinya, memberikan makna larangan mengambil air (bekas dikencingi) dari dalam
suatu tempat dan mandi di luar tempat tersebut (tidak mencebur ke dalamnya).
- Kata فيه (fiihi) = di
dalamnya, memberikan makna larangan mencebur (masuk) ke dalam tempat air (bekas
dikencingi) tersebut.
- Kata جنابة (janabah)
adalah sifat bagi orang yang keluar air maninya atau dengan sebab hubungan
intim, sampai ia bersuci.
FAEDAH
HADITS:
1. Larangan mandi janabah di dalam air
yang tenang (tidak mengalir).
2. Larangan berkonsekuensi haram, maka
haram mandi janabah di dalam air yang tenang.
3. Larangan ini (mandi janabah di
dalam air yang tenang) menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang (yaitu
rusaknya air bekas mandi janabah).
4. Larangan kencing di dalam air yang
tenang, kemudian mandi janabah di dalamnya.
5. Larangan berkonsekuensi haram, maka
haram mandi janabah di dalam air yang dikencingi.
6. Larangan ini (mandi janabah di
dalam air yang dikencingi) juga menunjukkan rusaknya yang dilarang (yaitu
rusaknya air bekas dikencingi dan mandi janabah).
7. Secara zhohir, hadits ini tidak
membedakan antara air yang sedikit ataupun banyak.
8. Rusak yang diakibatkan oleh kedua
larangan tersebut adalah rusaknya air, karena menjadi kotor dan menjijikkan
bagi orang-orang yang akan menggunakannya. Dan akan dijelaskan –insyaAllah-
perbedaan pendapat mengenai air musta’mal (air bekas digunakan), apakah
menggunakannya untuk thoharoh (bersuci) akan menghasilkan kesucian atau tidak.
9. Larangan dari kencing atau mandi di
dalam air yang tenang tidak secara mutlak berdasarkan kesepakatan. Air yang sangat
banyak tidak termasuk yang dilarang berdasarkan kesepakatan, dan peng-khusus-an
(air yang sangat banyak) ini dikhususkan oleh ijma’.
10. Imam Ash Shon’ani berkata di
Subulus Salam, “yang sesuai dengan kaidah bahasa arab bahwa yang dilarang di
dalam hadits adalah menggabungkan (kencing kemudian mandi sekaligus), karena
kata ثم (kemudian) tidak memberikan makna sebagaimana yang diberikan oleh wawu
‘athof (= dan), kata ثم memberikan makna gabungan dan berurutan (kencing
kemudian mandi sekaligus di dalam air yang sama).
11. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata,
“larangan menggabungkan (kencing kemudian mandi) diambil dari satu hadits, dan
larangan dari masing-masing (mandi saja atau kencing saja) diambil dari hadits
lain”
Riwayat-riwayat yang ada di bab ini
memberi faedah antara lain:
- Riwayat Muslim: larangan dari mandi
dengan mencebur (masuk) ke dalam air yang tenang, dan larangan mengambil air
bekas dikencingi untuk mandi.
- Riwayat Bukhori: larangan dari
kencing kemudian mandi sekaligus (di dalam air yang diam tersebut).
- Riwayat Abu Dawud: larangan dari
masing-masing (kencing saja atau mandi saja).
Dari seluruh riwayat tersebut
disimpulkan bahwa seluruhnya terlarang, hal ini karena kencing atau mandi di
dalam air yang tenang menyebabkan air kotor dan menjijikkan bagi orang lain
meskipun air tidak sampai najis.
12. Keharaman ini juga berlaku untuk
buang air besar dan istinja’ (mencebok) di dalam air yang tenang yang tidak
mengalir.
13. Haram merugikan orang lain dan
memberikan mudhorot kepada mereka dengan amalan apapun yang tidak diridhoi,
yang lebih besar mudhorotnya daripada manfaatnnya.
PERBEDAAN
PENDAPAT ULAMA:
Para ulama berbeda pendapat apakah
larangan ini berkonsekuensi haram atau makruh.
- Madzhab Malikiyah berpendapat
makruh, karena air tetap dalam keadaan suci.
- Madzhab Hanabilah dan Zhohiriyyah
berpendapat haram.
- Sebagian ulama berpendapat haram
pada air yang sedikit, dan makruh pada air yang banyak.
Secara zhohir, larangan tersebut
hukumnya haram baik pada air yang sedikit maupun banyak, meskipun air tidak
ternajisi, ‘illah (sebab) nya adalah karena kotornya air dan menjijikkan bagi
orang lain.
Peringatan: dikecualikan air
yang sangat banyak (seperti air laut dan danau) berdasarkan kesepakatan
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Diterjemahkan
dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al
Bassam hafizhohullah
Thaharah [Hadits Ke - 4]
HADITS KE-4
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ
يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak
mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis".
Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu
Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.
DERAJAT
HADITS:
Hadits ini shahih, dinamakan
juga dengan hadits qullatain (dua kullah).
Para ulama berbeda pendapat mengenai
keshahihan hadits ini, sebagian ulama menghukumi hadits ini dengan syadz
(nyeleneh) pada sanad dan matannya.
Syadz pada matannya dari segi bahwa
hadist ini tidak, masyhur padahal kandungan hadits ini sangat dibutuhkan,
seharusnya dinukil secara masyhur, namun hal ini tidak. Dan tidak ada
yang meriwayatkan hadits ini kecuali Ibnu Umar saja.
Adapun segi idhtirob (simpang
siur) pada matan, yaitu adanya sebagian riwayat “jika air mencapai dua
kullah”, ada juga “jika air mencapai tiga kullah”, ada juga “jika
air mencapai empat puluh kullah”. Ukuran kullahpun tidak diketahui,
dan mengandung pengertian yang berbeda-beda.
Adapun ulama yang membela hadits ini
dan mengamalkannya seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “telah dijawab
tuduhan idhtirob (simpang siur) dari segi sanad bahwa selagi terjaga di
seluruh jalur periwayatannya, maka tidak bisa dianggap idhtirob (simpang
siur), karena hadits tersebut dinukil oleh yang terpercaya kepada yang
terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Al
Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan idhtirob
dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat “tiga” itu syadz,
riwayat “empat puluh kullah” itu mudhtorib, bahkan dikatakan bahwa kedua
riwayat tersebut maudhu’, dan riwayat “empat puluh” di-dho’ifkan
oleh Ad Daruqtni.
Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini
shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad
Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih.
Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap
sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur)
tidaklah dapat diterima.
Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan
ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil), mereka
telah membantah perkataan yang mencela hadits ini”
Diantara ulama yang menshahihkan hadits
ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi,
Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.
KOSA KATA:
- Kata قلتين (qullataini)
= dua kullah. Dua kullah sama dengan 500 ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan
90 misqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg.
- Kata لم يحمل الخبث (lam
yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), maknanya adalah
air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut
mencapai dua kullah. Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat
melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut
tidak ternajisi.
- Kata الخبث (khobats)
adalah najis.
FAEDAH
HADITS:
1. Jika air mencapai dua kullah, maka
air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak
memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.
2. Dipahami dari hadits tersebut bahwa
air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan
masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak
menjadi ternajisi dengannya.
3. Ternajisi atau tidaknya air
bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut
telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.
PERBEDAAN
PENDAPAT ULAMA:
> Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i,
dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit
menjadi ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat
air.
Sedikitnya air menurut Abu Hanifah
adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga
ikut bergerak.
Adapun sedikitnya air menurut madzhab
Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah.
> Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama salafiyah
di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi ternajisi
dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air (rasa, warna, dan
bau) tidak berubah.
Para ulama yang mengatakan bahwa air
dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits
Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua
kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air)
mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka
pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan
sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang
perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa
memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.
Hadits qullatain (dua kullah) tidak
bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika
diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak
dengan bergeraknya ujung lainnya.
Adapun dalil- dalil para ulama yang
tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat,
diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah
air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis,
karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotorang [najis]
dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.
Adapun pemahaman hadits tersebut,
tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah
salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka
juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing
Arab Badui dan dalil lainnya.
Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut
oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak berubah sifatnya oleh najis
maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat
alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman
Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan
terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa,
dan bau.
Sumber:
Taudhihul Ahkam min Bulughul Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam
TASBIH KAYU KAUKAH ASMA’UL HIKMAH
TASBIH KAYU KAUKAH ASMA’UL HIKMAH
TASBIH KAYU KAUKAH ASMA’UL HIKMAH
Merupakan Tasbih yang terbuat dari bahan buah kaukah asli
dari Turki terbaik yang diuntai rapi
sehingga nyaman digunakan. Tasbih ini telah melalui proses riyadhoh dengan
menggunakan asma’ – asma’ mujarrob dalam waktu yang cukup menguras energi dan
waktu. Penggunaan asma’ – asma’ hikmah pilihan yang mustajab dan dengan proses
riyadhoh yang panjang Alhamdulillah dengan Ridha Allah Ta’ala Tasbih ini dapat
digunakan sebagai wasilah hikmah yang mujarrab untuk berbagai keperluan. Energi
yang tertanam dalam tasbih ini dapat langsung dirasakan getarannya dan
fadhilahnya, Insya Allah.
Energi
Lebih Kuat
Jika
Tasbih pengisian biasa membutuhkan waktu paling tidak selama 7 hari untuk
memproses energinya. Maka proses Tasbih Kaukah Asma’ul Hikmah membutuhkan
waktu 40 hari lamanya. Selain itu, dalam sekali proses hanya satu Tasbih Kaukah Asma’ul Hikmah saja yang diisi. Sedangkan Tasbih pengisian biasa dalam
sekali proses bersamaan dengan 7 buah sabuk sekaligus. Sehingga secara energi
lebih kuat dibanding Tasbih pengisian biasa.
Manfaat
Lebih Berlipat
Tasbih
dengan tingkatan biasa hanya memiliki empat manfaat yaitu kerezekian,
pelarisan, perlindungan fisik, perlindungan metafisik. Sedangkan Tasbih Kaukah Asma’ul Hikmah, selain memiliki keempat manfaat tersebut, juga memiliki
manfaat tambahan lainnya yaitu.
- Spiritualitas (Mata batin)
- Meningkatkan kepekaan Anda merasakan fenomena gaib yang
ada di sekitar Anda.
- Jika Anda memiliki bakat alami dalam hal kebatinan,
kemampuan Anda akan lebih mudah meningkat pesat.
- Meningkatkan intuisi Anda guna membaca pertanda
mengenai peristiwa yang akan terjadi.
- Menenangkan pikiran Anda dan mengurangi stress.
- Membantu Anda fokus pada penyelesaian suatu persoalan.
- Meningkatkan kekhusyukan dan konsentrasi.
- Jabatan
- Memunculkan aura keberuntungan dalam hal mendapatkan
jabatan yang Anda inginkan.
- Sebagai sarana untuk mendapatkan dukungan untuk
mempermudah meraih jabatan.
- Menjauhkan Anda dari sifat iri dan dengki orang lain
yang hendak menjatuhkan jabatan Anda.
- Memuluskan jalan bagi Anda untuk meraih cita-cita dan
harapan.
- Kewibawaan
- Menjadikan Anda seseorang yang selalu disegani orang
lain di manapun Anda berada.
- Meningkatkan kemampuan Anda dalam berekspresi dan
bertutur kata di depan khalayak.
- Membantu Anda mendapatkan banyak dukungan untuk
memenangkan suatu persaingan/kompetisi politik.
- Rekan kerja dan atasan akan semakin menghormati Anda.
- Membuat orang lain lebih mudah tergetar hatinya ketika
mendengar nasihat baik Anda.
- Pengasihan
- Sebagai wasilah untuk mendapatkan jodoh yang Anda
idamkan.
- Membentuk energi mahabbah dalam diri Anda, sehingga
orang yang Anda sukai akan lebih tertarik dan bersimpati.
- Atas izin Allah energi sabuk bertuah akan menjauhkan
Anda dari kesialan dalam menjalin hubungan cinta.
- Secara halus mempengaruhi pasangan Anda yang berpaling.
- Memancarkan energi kasih sayang dari dalam diri Anda.
- Pesona
- Meningkatkan pesona Anda di hadapan orang lain
- Membuat orang lain merasa akrab dan nyaman manakala
bersama dengan Anda.
- Orang yang bertemu dengan Anda akan selalu merasa
kangen setelah berpisah.
- Memudahkan Anda melunakkan hati orang lain.
- Ketika Anda tertimpa masalah, orang lain akan selalu
mendukung dan membantu Anda.
Karakter
energinya Disesuaikan dengan Pemiliknya
Sebelum
Anda memanfaatkan energi Tasbih Kaukah Asma’ul Hikmah, kami akan menyesuaikan
karakter energi Tasbih Kaukah Asma’ul Hikmah dengan diri Anda selaku perawat.
Untuk menyeleraskannya, Anda cukup memberikan nama lengkap Anda+tanggal lahir+
bin/binti (nama orang tua).
Mendapatkan
Bonus Minyak Hikmah
Minyak
Hikmah merupakan minyak hikmah khusus yang telah melalui proses pengisian
energi wirid dan riyadhoh. Keistimewaan minyak hikmah makrifat yaitu sebagai
sarana memperkuat energi yang terdapat pada sebuah wasilah (piranti) hikmah.
Mahar
Mahar
Tasbih Kaukah Asma’ul Hikmah yaitu Rp. 1.500.000.
GELANG KAYU KAUKAH ASMA'UL HIKMAH
GELANG KAYU KAUKAH ASMA'UL HIKMAH
Gelang
ini terbuat dari buah kaukah (kokka) asli dari Turki, manfaat alami pohon
kaukah sudah dikenal dari sejak zaman Nabi Nuh As. Pohon kaukah (kokka) dengan
segala bagian (akar, kayu, buah) secara alami memiliki karakteristik dan banyak
keistimewaan, ditambah dengan riyadhoh khusus asma’ul hikmah dengan doa kunci
sembilan dan asma’ khusus maka gelang ini diperuntukkan untuk beberapa kegunaan
diantaranya :
- Anti gendam / hipnotis.
- Perlindungan dari segala perbuatan hasud dan kejahatan.
- Self-healing baik medis dan non-medis.
- Anti gangguan sihir, tenung, santhet, guna-guna, pelet, pengasihan.
- Memancarkan kharisma dan kewibawaan.
- Memperluas relasi.
- Disukai banyak orang.
- Dipercaya atasan.
- Meningkatkan kepekaan batiniah.
- Mempermudah dan memperlancar segala urusan.
- Mengusir gangguan jin (makhluk ghaib).
- Pembersih semua lapisan energi.
- Dan masih banyak fadhilah lain.
Gelang
kayu kaukah ini cukup dikenakan dalam keseharian tanpa ada pantangan khusus dan
tetap boleh dikenakan dalam kamar mandi. Fadhilah gelang kayu kaukah ini
bersifat permanen selama gelang masih dalam satu untaian. Biidznillah
Mahar
Gelang Kayu Kaukah Asma'ul Hikmah
Rp 150.000,-
Thaharah [Hadits Ke - 3]
HADITS KE-3
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى
رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ
مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ
لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat
menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau
warnanya."
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu
Hatim. Dalam riwayat Al Baihaqi, "Air itu thohur
(suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna
oleh najis yang terkena padanya."
DERAJAT HADITS:
- Bagian pertama
hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan
"Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya" telah ada
dasarnya di hadits bi'ru bidho'ah (hadits 2).
- Adapun lafadz
tambahan “kecuali yang mendominasi (mencemari) bau, rasa, dan warnanya”, Imam
an Nawawi berkata, "para ahli hadits bersepakat atas ke-dho'if-an lafadz
ini, karena di dalam isnadnya ada Risydain bin Sa'ad yang disepakati
ke-dho'if-an-nya. Akan tetapi, Ibnu Hibban di dalam shahihnya menukil adanya
ijma' ulama untuk mengamalkan maknanya. Shodiq berkata di kitab Ar-Raudhoh,
"Para ulama bersepakat terhadap dho'ifnya tambahan ini, akan tetapi ijma'
ulama mengakui kandungan maknanya".
FAEDAH HADITS (2 DAN 3):
1. Kedua hadits ini
menunjukkan bahwa, secara asal, air adalah suci dan mensucikan, tidak ada
sesuatupun yang dapat menajiskannya.
2. Kemutlakan ini
dimuqoyyadkan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak
mengubah bau, rasa, atau warna air, jika berubah maka air tersebut ternajisi
(menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.
3. Yang
meng-muqoyyad-kan kemutlakan ini adalah ijma' umat islam bahwa air yang berubah
oleh najis, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut
sedikit ataupun banyak.
Adapun lafadz
tambahan yang datang pada hadits Abu Umamah maka itu dho'if, tidak tegak hujjah
dengannya, akan tetapi:
- Imam An-Nawawi
berkata, "para ulama telah ijma' terhadap hukum dari lafadz tambahan
ini".
- Ibnu Mundzir
berkata, "Para ulama ijma' bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika
terkena najis dan mengubah rasa, warna, atau bau air tersebut, maka air
tersebut ternajisi (menjadi najis).
- Ibnul Mulaqqin
berkata, "terlepas dari kedhoifan tambahan (yang mengecualikan) tersebut,
ijma’ dapat dijadikan hujjah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syafi'i
dan Al Baihaqi, dan selain keduanya. Syaikhul Islam berkata, "Apa yang
telah menjadi ijma' oleh kaum muslimin maka itu berdasarkan nash, kami tidak
mengetahui satu masalahpun yang telah menjadi ijma' kaum muslimin tetapi tidak
berdasarkan nash.
Sumber : kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom
karya Syaikh Abdullah Al Bassam
Thaharah [Hadits Ke - 2]
HADITS KE-2
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا
يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ
وَصَحَّحَهُ أَحْمَد
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya
(hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang
menajiskannya."
Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.
DERAJAT
HADITS:
Hadits ini shahih.
- Hadits ini juga dinamakan
"hadits bi'ru bidho'ah". Imam Ahmad berkata, "hadits bi'ru
bidho'ah ini shahih”.
- Imam At Tirmidzi berkata
"hasan".
- Abu Usamah menganggap hadits ini
baik. Hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Sa'id dan selainnya dengan jalur
lain.
- Disebutkan di dalam "at
Talkhish" bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Yahya bin Mu'in, dan
Ibnu Hazm.
- Al-Albani berkata, "periwayat
pada sanadnya adalah periwayat Bukhori dan Muslim kecuali Abdullah bin Rofi'.
Al Bukhori berkata, "keadaannya majhul", akan tetapi hadits ini telah
dishahihkan oleh imam-imam sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
- Hadits ini adalah hadits yang
masyhur (dikenal) dan diterima oleh para imam.
- Syaikh Shodiq Hasan di kitab
Ar-Raudah, "Telah tegak hujjah dengan pen-shahih-an oleh sebagian imam .
Telah dishahihkan juga (selain yang telah disebutkan di atas) oleh Ibnu Hibban,
Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, dll. Walaupun Ibnul Qothon mencacati
hadits ini dengan majhulnya riwayat dari Abu Sa'id, akan tetapi pencacatan oleh
satu orang Ibnul Qothon tidak dapat melawan penshahihan oleh imam-imam besar
(yang telah disebutkan di atas).
KOSA
KATA:
- Kata طهور (Thohur), artinya
suci substansinya dan dapat mensucikan selainnya.
- Kata لا ينجسه شيء (Laa
yunajjisuhu syai-un) = tidak ada yang sesuatupun yang dapat menajiskannya.
Perkataan ini dimuqoyyad-kan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis)
tersebut tidak mengubah salah satu dari tiga sifat air, yaitu bau, rasa,
dan warna.