(QS. Al-Mu'min : 60)
"Dan berfirman Tuhanmu "Memohonlah (mendoalah) kepada-Ku, Aku pasti perkenankan permohonan (doa) mu itu."
(Q.S. Al-Baqarah: 155)
“Wahai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan melalui Sabar dan Shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
(Q.s. al-Mujadalah : 11)
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmupengetahuan beberapa derajat"
Senin, 31 Agustus 2015
PANDANGAN IBNU 'ATHAILLAH TENTANG MAQAM SUFI
Dalam pandangan tasawuf secara
umum, konsep maqām dan hāl adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan
salik (pejalan sufi).
Maqām adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh
seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik.
Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika
dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk
maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan
tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah
(melatih hawa nafsu).
Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh
al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik
tanpa melalui proses usaha riyadhah.
Namun, dalam konsep maqām ini Ibn
Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām
dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah
Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya
dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām
atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini
bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak
memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang
menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk
mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan
angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah
membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah
----------------------------------------------
Taubat adalah maqam awal yang
harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik
tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak
akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan
Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu
sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua
perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa
ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya
jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia
segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini,
seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah
meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa
kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat
membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon)
kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa,
hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga
menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah,
zuhd ada 2 macam;
1. Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan
berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal,
seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan
duniawi.
2. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti
zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai
hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan
maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar
merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi
yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan.
Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan
terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai
jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang
diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn
‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia.
Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan
kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya
disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan
dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan
jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan
tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut
menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena
ciri-ciri seorang zuhd ada dua;
yaitu saat kenikmatan dunia tidak
ada dan
saat kenikmatan dunia itu
ada.
Ini dimaksudkan bahwa jika
kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan
bersyukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika
nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Ibn ‘Ata’illah membagi sabar
menjadi 3 macam
1. sabar terhadap perkara
haram,
2. sabar terhadap kewajiban,
dan
3. sabar terhadap segala
perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram
adalah sabar terhadap hak-hak manusia.
Sedangkan sabar terhadap
kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada
Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan
melahirkan
Bentuk sabar yang ketiga yaitu
sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan
kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah
sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas
kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada
Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama
Allah”.
Sabar bukanlah suatu maqam yang
diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah
yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh
keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta
menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Syukur dalam pandangan Ibn
‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
Pertama syukur dengan lisan,
yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat.
Kedua, syukur dengan anggota tubuh,
yaitu syukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan.
Ketiga, syukur dengan hati, yaitu
dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan
yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn
‘Ata’illah:
“Dalam syukur menurut Ibn
‘Ata’illah terdapat tiga bagian; syukur lisan yaitu memberitakan
kenikmatan (pada orang lain), syukur badan adalah beramal dengan
ketaatan kepada Allah, dan syukur hati adalah mengakui bahwa
Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang
adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan
bahwa bentuk syukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai
landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk syukur
orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada
mereka yang membutuhkan. Bentuk syukur orang yang diberi kenikmatan berupa
jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan
terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah
memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin.
Syhukur ẓāhir adalah
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur
bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari
Allah semata.
Manfaat dari syukur adalah
menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin
bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak mensyukuri
nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan
tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat
kenikmatan tersebut. Allah berfirman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ
(Jika kalian bersyukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah
[kenikmatan itu]).1
Jika seorang salik tidak mengetahui
sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya
ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh
Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah
menambahkan hendaknya seorang salik selalu bersyukur kepada Allah sehingga
ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan
kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua
kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, syukur kepada makhluk juga
menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bersyukur terhadap apa yang telah
diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at,
seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut
adalah dari Allah.
Pengejawantahan syukur tetap
harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan.
Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena
akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan
kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah.
Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga
manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk
kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan
dalam pengejawantahan syukur.
Seorang salik dapat mencapai
derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia
tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat
dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan ḥal yang ada pada diri salik,
seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini
mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki
ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām
khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum
kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah
sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada
Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang
membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa
jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa
yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, ḥal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika
dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang
dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya.
Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka
lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin
agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau
berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap,
rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa
perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka.
Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal
kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara
kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri
sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya.
Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu,
sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan
menjadi penguat khauf.
Riḍa
dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah adalah penerimaan secara total terhadap
ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:
(Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka
riḍa
kepada Allah),
dan juga sabda Rasulullah SAW.:
(Orang yang merasakan [manisnya] iman adalah orang yang riḍa
kepada Allah).
Maqam riḍa bukanlah maqam yang diperoleh atas usaha salik
sendiri. Akan tetapi riḍa
adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam riḍa sudah ada dalam diri sālik,
maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada
hubungan yang erat antara maqām riḍa
dan maqām tawakkal. Orang yang riḍa
terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai
penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin
bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan
kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah.
Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan
bertawakkallah kepada-Nya).
Sebagaimana maqām-maqām lainnya,
maqām riḍa dan tawakkal
tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan
bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah
berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan
berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian
tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga
bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah
adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh
kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal
tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap
perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan
maqām tawakkal dan riḍa,
hal ini jelas, karena seorang yang riḍa
maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya.
Maka bagaimana mungkin dia
menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan
perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya riḍa telah membasuh hati dengan curahan
perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang riḍa
terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya riḍa atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya
perencanaan bersama Allah…”
Hikmah riḍa kepada qaḍā’
dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah
yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan
bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan
petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi
kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Dasar riḍa akan qaḍā’
dan qadar, ialah firman Allah dalam al-Qur’an:
“Orang-orang (yang mu’min) jika mereka mendapat sesuatu bencana
berkatalah mereka “Bahwasanya kami ini kepunyaan Allah, dan kami (semua) pasti
kembali lagi kepada-Nya.”Jika seseorang ditimpa bencana hendaklah dia riḍa,
hatinya tidak boleh mendongkol. Riḍa dengan qaḍā’
ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri seseorang, dengan rasa senang
hati dan lapang dada."
Meriḍai qaḍā’
dan qadar, karena ditimpa bencana atau menderita sesuatu, sangat disukai oleh
agama. Tetapi sekali-kali tiada dibenarkan seseorang meriḍai kekufuran dan kemaksiatan.
Riḍa
dengan taqdir Allah adalah suatu perangai yang terpuji dan mulia serta
membiasakan jiwa menyerahkan diri atas keputusan Allah, juga dapat mendapatkan
hiburan yang sempurna di kala menderita segala bencana. Dialah obat yang sangat
mujarab untuk menolak penyakit gelap mata hati. Dengan riḍa atas segala ketetapan
Allah, hidup seseorang menjadi tenteram dan tidak gelisah.
Seseorang wajib berkeyakinan,
bahwa bencana yang menimpa seseorang, adakalanya juga merupakan cobaan bagi
seorang hamba, untuk lebih suka mengoreksi segala amal perbuatan pada masa-masa
yang lampau, agar seseorang dapat mengubah dan memperbaiki jejak langkah dan
perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Menyerah kepada qaḍā’illah (keputusan takdir)
Allah termasuk tidak boleh mengandai-andaikan, misalnya andaikan tadinya dia
tidak ikut rombongan ini, barangkali dia tidak termasuk korban kecelakaan ini,
sebagaimana firman Allah SWT.:
Hai orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir, yang
berkata kepada saudara-saudara mereka tatkala mereka bepergian di bumi, atau
sedang bertempur : Sekiranya bersama-sama kami, niscaya mereka tidak akan mati,
dan tidak akan terbunuh.
Yang demikian karena Allah hendak
jadikan yang tersebut itu duka cita di hati-hati mereka dan Allah rnenghidupkan
dan mematikan, dan Allah Maha melihat akan apa yang engkau kerjakan.
Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa
maqām maḥabbah adalah
maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa
maḥabbah adalah tujuan
utama dari semua maqām.
Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki
pandangan yang berbeda tentang konsep maḥabbah
bahwa dalam maḥabbah
seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat
demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada maḥabbah (cinta) bisa jadi dia
masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini
tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan
balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang
rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak
mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini
adalah Allah SWT.
”…maḥabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur
dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah
mahabbah, karena maḥabbah adalah hasil dari
seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, riḍa
dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum maḥabbah kecuali
hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar,
zuhd dan lain sebagainya…”
Download Software: Al-Asma, Kamus Nama-nama Anak Islami [Gratis]
Al-Asma, Kamus Nama-nama Anak Islami
Mencari nama untuk si buah hati menjadi tugas yang kadang tidak mudah, mengingat nama bisa berarti doa, mencarikan nama yang baik adalah kewajiban bagi orang tua. Untuk mempermudah menemukan nama yang baik, kini kita bisa memanfaatkan program gratis (freeware) al-asma, Kamus nama-nama anak Islami.
Di Internet memang kita sudah bisa menemukan website yang memberikan fitur untuk mencari nama-nama anak dan mungkin dengan data yang lebih banyak. Tetapi al-Asma mencoba memberikan sesuatu yang berbeda, selengkapnya bisa membaca fitur-fiturnya dibagian bawah berikut. Program al-Asma versi 1.0 ini menyertakan sekitar 3.386 nama plus nama-nama serupa (mirip atau sama artinya).
Beberapa fitur al-Asma’ antara lain :
- 100% gratis (freeware)
- Portable, langsung jalankan tanpa perlu install. Ukuran hanya sekitar 468 KB
- Nama-nama anak dalam bahasa Indonesia, arab (tulisan arab), arti dalam bahasa Indonesia (dan Inggris), serta nama-nama serupa
- Pencarian berdasar kriteria jenis kelamin (laki-laki, wanita atau semua), nama, tulisan arab dan juga arti
- Menyertakan tombol huruf Arab untuk memudahkan mencari dalam bahasa Arab
Penggunaan Kamus ini cukup mudah, setelah dijalankan kita bisa langsung mengetikkan di kotak pencarian, baik nama, arti maupun tulisan arab. selanjutnya tekan tombol cari atau enter untuk menampilkan nama yang dicari. Hasil untuk nama anak laki-laki dan wanita ditampilkan dengan 2 warna yang berbeda.
Untuk mencari dalam tulisan Arab, klik tombol bergambar keyboard disamping tombol CARI. Lalu tuliskan sesuai dengan yang di inginkan. Untuk pencarian tulisan arab, tidak perlu menyertakan harokat. Jika kriteria tidak dipilih, maka kamus ini akan mencari di semua kolom yang memuat hasil pencarian, baik kolom Nama, arab, arti maupun nama serupa.
Kamus al-Asma’ ini dapat berjalan di Windows 2000 ke atas ( 2000, Xp, Vista, 7/8). Untuk Windows Vista keatas, tampilan tulisan arab seharusnya sudah otomatis bersambung (tampil dengan benar). Bagi pengguna Windows XP, jika tampilan bahasa Arab masih putus-putus, maka perlu diatur terlebih dahulu bagian Regional & Language Options, caranya sebagai berikut:
- Buka COntrol Panel, pilih (double klik) Regional & Language Options
- Setelah tampil window Regional & Language Options, pilih tab “Languages”
- Beri tanda cek untuk opsi “Install files for complex script and right-to-left languages (including Thai)” dan klik OK di tampilan konfirmasi.
- Selanjutnya klik tombol OK atau Apply sehingga windows akan meminta CD Master Windows XP (Insert Disk). Masukkan CD Master windows XP ke CD/DVD-ROM Drive, dan ikuti langkah selanjutnya yang tampil
- Restart komputer dan setelah itu seharusnya bahasa Arab akan tampil dengan benar
Jika ada masukan, saran, atau perbaikan lainnya silahkan langsung mengirimkan email ke ebta.setiawan [at] gmail [.] com atau langsung menuliskan pada bagian komentar di sini.
-Jazakumullah khaira kepada mas Ebta Setiawan yang telah mengembangkan software ini :)
Perihal Sanad dan Ijazah dalam Perspektif Islam
"Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna"
Sanad - Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagi ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qira’at, yang berhulu pada Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w.
Sanad - Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun makna sanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagi ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qira’at, yang berhulu pada Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w.
Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain.
Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid. Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).
Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid. Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).
Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi. Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.
Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama.
Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan: “Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.
Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan: “Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.
Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya: “Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.
Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad".
Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.
Ijazah - Adapun Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani(aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya itu.
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu. Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut.
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu. Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut.
Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.
Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut. Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam kitab Tadribur Rawi, mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.
Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.
Jumhur ulama memperbolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al Kifayah, menyebutkan, sebagian ahli ilmu membolehkan al-Ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menulis surat Al-Bara’ah (At-Tawbah) dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar R.a, kemudian Beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib R.a untuk mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu kepada Beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan membacanya dihadapan para sahabat.
Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiah yang mengakar kuat dan membudaya di kalangan umat islam, baik terdahulu maupun kini, khususnya dikalangan penuntut ilmu. Pada bidang keilmuan tertentu, ijazah ini sangat selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amalan khusus dikalangan sufi (tarekat). Bukan tanpa sebab, mengapa perlu syarat-syarat yang cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits tentunya syarat-syarat sanad yang menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan kepercayaan seorang guru kepada muridnya.
~ Wassalam ~
Urgensi Menuntut Ilmu dan Sanad Dalam Islam
"Jangan sampai kita mengambil ilmu yang bukan dari ahlinya. Ambillah ilmu dari orang yang mengamalkan ilmunya, yang takut kepada Allah, jangan mengambil ilmu dari sembarangan orang dan di sembarangan tempat.".
~ Nasehat Al Allamah Al Faqih Al Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith
Keutamaan Mencari Ilmu Agama
Sabda Rasulullah S.a.w, diriwayat dari Abdullah bin Mas'ud R.a:
مَنْ تَعَلَّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ يَنْتَفِعُ بِهِ فِى آخِرَتِهِ وَدُنْيَاهُ كَانَ خَيْرًا لَهُ مِنْ عُمْرِ الدُّنْيَا سَبْعَةَ آلاَفِ سَنَةٍ صِيَامَ نَهَارِهَا وَقِيَامَ لَيَالِيْهَا مَقْبُوْلاً غَيْرَ مَرْدُوْدٍ
Dari Mu'adz bin Jabal Ra, ia berkatan, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda:
تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ فَاِنَّ تَعَلُّمَهُ ِللهِ حَسَنَةٌ وَدِرَاسَتَهُ تَسْبِيْحٌ وَالْبَحْثَ عَنْهُ جِهَادٌ وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ وَتَعْلِيْمَهُ صَدَقَةٌ وَبَذْلَهُ ِلاَهْلِهِ قُرْبَةٌ وَالْفِكْرَ فِى الْعِلْمِ يَعْدِلُ الصِّيَامَ وَمُذَاكَرَتَهُ تَعْدِلُ الْقِيَامَ
Rasulullah S.a.w bersabda:
اُطْلُبِ الْعِلْمَ وَلَوْ كَانَ بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ بَحْرٌ مِنَ النَّارِ
Sabda Rasulullah S.a.w:
اُطْلُبِ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلَى اللَّحْدِ
Mempelajari ilmu adalah wajib setiap saat dan keadaan. Sebagian dari para ulama salaf (ulama dahulu) berpendapat bahwa ilmu ada empat macam:
1). Ilmu untuk membetulkan amalan agama.
2). Ilmu kedokteran untuk menyehatkan badan.
3). Ilmu falak untuk menentukan waktu salat.
4). Ilmu nahwu untuk membetulkan bacaan.
Ilmu dapat dihasilkan dengan dua cara: Usaha, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan jalan belajar dan membaca secara terus menerus dan Mendengarkan, yakni bertemu langsung dengan seorang guru (bertalaqqi), berguru dan belajar dari mereka (para ulama) dengan mendengarkan permasalahan agama dan dunia. Cara yang terakhir ini tidak dapat berhasil kecuali dengan mencintai Syekh (guru/ulama), bergaul dengan mereka, menghadiri majelis-majelis mereka dan meminta penjelasan dari mereka.
Orang yang menuntut ilmu, wajib berniat dalam usaha menghasilkan ilmu tersebut:
1). Mencari keridhaan Allah
2). Mencari kebahagiaan akhirat
3). Menghilangkan kebodohan dirinya dan semua orang yang bodoh
4). Menghidupkan agama
5). Mengabadikan agama dengan ilmu
6). Mensyukuri kenikmatan akal dan kesehatan badan
Ia tak boleh berniat agar manusia menghadap kepadanya, mencari kesenangan dunia dan kemuliaan di depan pejabat, dan sebagainya.
Pentingnya Menyebarkan Ilmu Agama
Nabi Muhammad S.a.w bersabda:
لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الْغَائِبَ
Wajib bagi seseorang yang mendengarkan untuk menyampaikan segala sesuatu yang didengarkan kepada orang yang tidak hadir. Hadits ini ditujukan kepada para sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai hari kiamat. Jadi wajib bagi seseorang yang memiliki (ahli) ilmu untuk menyampaikan (tabligh). Setiap orang yang mengetahui satu masalah adalah ahli ilmu dalam masalah tersebut. Setiap orang awam yang mengetahui syarat shalat, wajib mengajarkan kepada orang lain. Jika ia tidak mau mengajarkan, maka ia bersekutu dalam dosa dengan orang yang belum mengetahuinya.
Pada setiap masjid dan wilayah (desa, kampung, dll), wajib ada seorang ahli agama (seperti Ustadz, Kyai atau Alim Ulama lainnya) yang mengajar kepada manusia dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai masalah-masalah agama. Demikian juga halnya di setiap desa. Setiap ahli agama setelah selesai melaksanakan fardlu 'ain, yaitu mengajar di daerahnya sendiri, melakukan fardlu kifayah, yaitu keluar ke daerah yang berdekatan dengan daerahnya, untuk mengajarkan agama dan kewajiban syariat kepada penduduk wilayah tersebut. Ahli agama tersebut wajib membawa bekal untuk dimakan sendiri, dan tidak boleh ikut makan makanan orang yang diajar.
Jika sudah ada salah seorang (ahli ilmu agama atau Alim Ulama) yang menunaikan kewajiban ini (yakni menyampaikan/mengajarkan) maka gugurlah dosa dari para ahli ilmu yang lain. Jika tidak ada sama sekali orang yang menunaikan kewajiban ini, maka dosanya akan menimpasemua orang. Orang yang alim berdosa karena keteledorannya tidak mau pergi (mengajar/menyampaian) ke daerah tersebut; sedangkan orang yang bodoh berdosa karena keteledorannya dalam meninggalkan menuntut ilmu. Ini adalah pendapat Syekh Ahmad as-Suhaimi yang dinukil oleh Imam Al Ghazali.
Ada 3 tanda bagi orang alim (ahli ilmu) yang ingin mencari kebahagiaan akhirat:
1). Ia tidak mencari kesenangan dunia dengan ilmunya.
2). Kesibukannya dalam (menuntut atau mengajarkan) ilmu dimaksudkan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan akhirat, sehingga ia memperhatikan ilmu yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki lahir (amal jariah) dan bathinnya (amal qulub), dan juga orang lain.
3). Ia menyandarkan ilmunya pada taklid (mengikuti) kepada Pemilik Syariat, Nabi Muhammad S.a.w, dalam ucapan dan perbuatannya. (Baca juga: Ijtihad, Taqlid dan Bermadzhab)
Tanda orang yang 'ikhlas' (dalam hal ini tidak mencari kesenangan dunia) dengan ilmunya, ada lima sebagai berikut:
1). Ucapannya tidak menyalahi perbuatannya, sehingga ia menjadi orang yang pertama kali melakukan perintah dan meninggalkan larangan (sebagaimana kebaikan yang ia serukan).
2). Ia memperhatikan ilmu menurut kadar kemampuannya, dan senang kepada ketaatan serta menjauhi ilmu yang memperbanyak perdebatan.
3). Ia menjauhi kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, perkakas rumah tangga dan pakaian.
4). Ia menahan diri dari mempergauli para pejabat, kecuali untuk memberi nasihat kepadanya atau untuk menolak kezhaliman, atau untuk memberikan pertolongan dalam hal yang diridhai oleh Allah Ta'ala.
5). Ia tidak cepat-cepat memberikan fatwa kepada orang yang bertanya, tetapi mengatakan: "Tanyakan kepada orang yang ahli memberi fatwa!", karena kehati-hatiannya. Ia mencegah diri dari berijtihad dalam sesuatu masalah, jika masalah tersebut tidak jelas bagi dirinya. Bahkan ia mengatakan: "Saya tidak tahu!" apabila ijtihad tersebut tidak mudah baginya (bukan bidangnya atau di luar kemampuannya)..
Nasehat Untuk Para Penuntut Ilmu
1). Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah S.w.t, karena bisa menuntut ilmu di pesantren yang 'Ahlussunnah wal Jama’ah' dan dapat melanjutkan menimba ilmu di kota Tarim, Yaman yang merupakan kota ilmu dan ulama. Di kota yang penuh berkah ini, banyak dijumpai para habaib dan alim ulama yang sanad keilmuannya bersambung sampai kepada Rasulullah S.a.w. Lebih jauh lagi, jumlah ulama di Tarim tidak hanya sebatas hitungan jari. Akan tetapi mencapai bilangan ribuan.
2). Seorang penuntut ilmu harus rajin bangun malam (qiyamullail).
3). Seorang pencari ilmu harus mempunyai etika yang baik (akhlaqul karimah).
4). Urgensi menebarkan rasa cinta kasih (al-mahabbah) dan persaudaraan (al-ukhuwah) kepada seluruh umat manusia secara umum, umat Islam secara khusus dan Ahlussunnah wal Jama’ah secara lebih khusus (akhash).
5). Menghormati ulama dan para guru (masyayikh) yang telah membimbing kita.
6). Bagi penuntut ilmu, hendaknya selalu menjadikan Al-Qur'an sebagai pegangan hidup, baik dengan membacanya, menghayati makna kandungannya dan merepresentasikannya dalam kehidupan nyata.
7). Cermat (tahqiq) serta serius dalam memahami kalam ulama yang tertuang dalam teks (matan) kitab. Memahami kalam ulama secara utuh, tidak sepotong-potong. Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri pernah mengatakan: “Barangsiapa yang menguasai matan (teks) sebuah kitab dengan sempurna, maka ia pasti mendapatkan berbagai disiplin keilmuan.”.
"Semoga bermanfaat untuk kita semua, dan menjadikan ilmu kita bermanfaat dunia dan akhirat.". ~ Nasehat Al Habib Umar bin Hafidz ~
Internet dan Buku Bukanlah Guru
Al Habib Munzir bin Fuad al-Musawa memiliki sebuah nasehat bijak kepada para penuntut ilmu (pembaca buku). Beliau berkata: Orang-orang yang berguru tidak kepada guru, namun kepada buku saja, maka dia tidak akan menemukan kesalahannya. Karena, buku tidak bisa menegur, namun kalau guru bisa menegur jika dia salah dalam memahami atau dia bisa bertanya jika tidak faham. Namun kalau buku, jika dia tidak faham, dia hanya terikat dengan pemhamannya sendiri.
Bukannya kita tidak boleh membaca buku!, boleh kita membaca buku apa saja, namun kita harus mempunyai satu guru yang menjadi rujukan kita, dan bisa kita bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah atau kita tidak tahu makna dari buku yang kita baca.
Apalagi jika berguru kepada internet, dikhawatirkan lebih banyak mudharatnya. Memang, tidak semua yang ada di internet adalah tidak benar. Banyak sekali kebenaran yang ada di sana, akan tetapi kebenaran itu belum teruji dan masih perlu dicermati lebih lanjut, karena bagaimanapun, internet bukanlah guru yang memiliki sanad yang jelas, bahkan internet sering menjadi penyebar hal-hal negatif. Demikianlah seharusnya memposisikan internet sebagai media yang harus 'dikonfirmasi' kembali berbagai informasi di dalamnya. Tidak layak untuk langsung ditelan, tetapi harus 'dimasak' lebih dahulu. (diteliti, dicermati, dikonfirm kepada guru).
Kenapa Ilmu Agama Wajib Bersanad?
Melalui mesin pencari (search engine) seperti google (yakni search, copy-paste) atau lainnyatidak cukup untuk memahami ilmu agama yang sebenarnya. Oleh karena itu kita butuh gurusebagai mursyid (penunjuk) agar jangan sampai salah memahami tulisan-tulisan (artikel), ilmu-ilmu yang bertebaran di Internet. Dan akhirnya dikhawatirkan tanpa pemahaman yang benar, kita berani berfatwa sembarangan hingga jauh dari kebenaran.
Disebutkan tentang pentingnya berguru langsung, dalam bab ilmu:
المتصل خير من المنفصل
Belajar berguru langsung dari guru, itu lebih mulia dan lebih baik untuk pemahaman yang benar.
أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار
Inilah alasan kenapa harus berhati-hati dalam hal yang belum kita fahami sebenarnya. Tak usah takut atau malu untuk mengatakan: "Saya belum tahu tentang itu..." atau "Akan saya tanyakan kepada ulama yang lebih faham tentang itu". Supaya kita selamat dalam memberi jawaban yang (terkesan) serampangan "asal-asalan tanpa dalil" dalam masalah hukum agama.
Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang hamba hanyalah sedikit dansangat terbatas. Ia tidak dapat meliputi segala bidang ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia. Allah Ta'ala berfirman: "Wa Maa Uutiitum Minal 'Ilmi illaa Qaliilan" (Dan kamu tidaklah diberi ilmu (oleh Allah) kecuali hanya sedikit).
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah berkata: "Telah Shahih dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa mereka berdua berkata: "Barangsiapa memberikan fatwa (jawaban) dalam setiap permasalahan yang ditanyakan oleh manusia, maka ia adalah orang kurang akalnya.". (I'laamu Al-Muwaqqi'iin, I/34, dan II/185).
"Teruslah belajar, carilah ilmu dengan para guru demi menghindari pemahaman yang sesat. Tak usah malu belajar karena faktor usia, dan jangan malu mengatakan kita belum mengerti beberapa hal. Semoga Allah memberi kita ilmu (yang) bermanfaat dunia dan akhirat dan menyelamatkan kita dari azab neraka akibat berfatwa sesat dan menyesatkan, dan menjadikan kita pecinta ilmu dan orang yang memiliki ilmu agama" ~ Nasehat Al Habib Quraisy Baharun ~
Nabi Muhammad S.A.W Telah Bersabda Supaya Umat Mengikuti Sanad
Dari Abdullah ibn Mas’ud R.a, Rasulullah S.a.w, bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, No. 2652, Muslim, No. 6635).
Rasulullah S.a.w bersabda: “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri (tanpa guru) dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan.”. (HR. Ahmad).
Dari Ibnu ‘Abbas R.a berkata, Rasulullah S.a.w bersabda: “Di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.”. (HR. Ath Thabarani).
Ibnul Mubarak berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahihnya 1/47 No. 32 ).
Dari Ibnu Abbas R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: ”Barangsiapa yang berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka.”. (HR.At Tirmidzi).
Imam Malik R.a berkata: “Hendaklah seseorang penuntut itu hafalannya (matan hadith dan ilmu) daripada Ulama, bukan daripada Suhuf (lembaran)”. (Al-Kifayah oleh Imam Al Khatib m/s 108).
Imam Asy Syafi’i R.a mengatakan: “Tiada ilmu tanpa sanad.”. Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang bertafaqquh (coba memahami agama) melalui isi kandungan buku-buku, maka dia akan mensia-siakan hukum (kefahaman sebenar-benarnya).”. (Tazkirah As-Sami’e: 87).
Juga berkata Imam Asy Syafi’i R.a: “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”. (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Ats Tsauri R.a: “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak:“Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad.”. (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Al-Hafidh Imam Ats Tsauri R.a mengatakan: “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga.”.
Bahkan Al Imam Abu Yazid Al Bustamiy R.a berkata: “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan.”. (Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203).
Asy Syeikh As Sayyid Yusuf Bakhour Al Hasani menyampaikan bahwa: “Maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur'an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan.“.
Sheikh Ibn Jama’ah berkata: “Sebesar-besar musibah adalah dengan bergurukan sahifah (lembaran-lembaran atau buku).”. (Ibn Al-Jama’ah: 87 dan dinukilkan dalam Muqoddimah Syarh Al-Maqawif 1/90).
Imam Badruddin ibn Jama’ah: “Hendaklah seseorang penuntut ilmu itu berusaha mendapatkan Syeikh yang mana dia seorang yang menguasai ilmu-ilmu Syariah secara sempurna, yang mana dia melazimi para syeikh yang terpercaya di zamannya yang banyak mengkaji dan dia lama bersahabat dengan para ulama’, bukan berguru dengan orang yang mengambil ilmu hanya dari lembar kertas dan tidak pula bersahabat dengan para syeikh (ulama’) yang agung.”. (Tazkirah As-Sami’ wa Al-Mutakallim 1/38).
Nabi S.A.W Memerintahkan Agar Umat Berpegang Teguh Pada Jama'ah Mayoritas
Dari Anas bin Malik R.a berkata: “Aku mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan, oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.”. (HR. Ibnu Majah No. 3950, Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan Ath Thabarani dalam Musnad Al Syamiyyin (2069).
Itulah beberapa hadits dan dalil-dalil tentang pentingnya menuntut ilmu dengan berguru dan bersanad.
"Barangsiapa yang cinta pada Ulama, duduk bersama mereka, belajar dengan mereka, membantu mereka, memuliakan mereka, jika mereka bukan ulama dan bukan menjadi ulama maka Allah akan jadikan keturunannya ada yang menjadi Ulama". ~ Nasehat Al Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus ~
Wal akhir, marilah kita tutup dengan doa. Pada Kitab Al-Adzkar Imam An-Nawawi, dalam sebuah riwayat Ibnu Majah, dari Ummu Salamah R.a, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam senantiasa membaca doa ini di waktu pagi:
اللهم اني أسألك علماً نافعا،ورزقاً طيباً وعملاً متقبلاً
"Allahumma Inni As Aluka 'ilman Naafi'an Wa Rizqan Thayiban Wa 'Amalan Mutaqabbalan".
Artinya: "Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu, Ilmu yang bermanfaat, Rezeki yang baik (halal)dan Amal yang diterima".
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
Wallahu a'lam bishshowab, Wassalam.