(QS. Al-Mu'min : 60)
"Dan berfirman Tuhanmu "Memohonlah (mendoalah) kepada-Ku, Aku pasti perkenankan permohonan (doa) mu itu."
(Q.S. Al-Baqarah: 155)
“Wahai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan melalui Sabar dan Shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
(Q.s. al-Mujadalah : 11)
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmupengetahuan beberapa derajat"
Jumat, 25 Mei 2018
Thaharah [Hadits Ke - 7]
HADITS KE-7
وَعَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
وَلِأَصْحَابِ
السُّنَنِ : اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا
فَقَالَ : إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ
خُزَيْمَةَ
Dari
Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air
sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Menurut
para pengarang kitab Sunan: Sebagian istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka
berkatalah istrinya: Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub."
Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
Derajat Hadits:
Hadits
ini shahih.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim telah tercacati dengan pertentangan di riwayat Amr
bin Dinar. Akan tetapi telah ada hadits di Shahihain secara terpelihar tanpa
pertentangan, dengan lafadz, “bahwa nabi –shallalahu ‘alaihi wa sallam- dan
Maimunah mandi berdua di dalam satu bak.” Lafadz ini jika tidak bertentangan
dengan riwayat Muslim, maka yang bertentangan itu adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ashabussunnan, dan inilah yang benar.
Ibnu
Abdil Haadi berkata di Al Muharror, “At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
Al Hakim, dan Adz Dzahabi menshahihkannya.
Ibnu
Hajar berkata di At Talkhis, “beberapa ulama mencacati hadits ini dengan Simak
bin Harb riwayat dari Ikrimah, karena dia menerima talqin, akan tetapi
diriwayatkan dari Syu’bah. Dan Syu’bah tidaklah mengambil dari Syaikhnya
melainkan shahih haditsnya.
Faedah Hadits:
1. Bolehnya
seorang laki-laki mandi dengan air bekas bersucinya wanita walaupun wanita
tersebut junub, dan kebalikannya lebih diperbolehkan bagi wanita untuk mandi
dengan air bekas bersucinya laki-laki.
2. Mandinya
orang yang junub atau wudhu’nya orang yang berwudhu dari wadah tidak memberikan
dampak terhadap kesucian air, maka air tetap dalam kesuciannya.
3. Al
Wazir dan An Nawawi menceritakan adanya ijma’ atas bolehnya laki-laki berwudhu’
dengan air bekas bersucinya wanita walaupun mereka tidak wudhu' bersama.
Kecuali ada salah satu riwayat dari Ahmad, yaitu riwayat yang masyhur bagi
pengikutnya. Dan riwayat lain, beliau berkata di Al Inshof, dan dari Imam
Ahmad, “hilangnya hadats laki-laki tersebut" dan inilah pendapat yang
benar dari dua pendapat yang ada, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Uqoil dan
Abu Khottob dan Al Majid.
Dikatakan
di Syarhul Kabir, “inilah madzhab imam yang tiga”.
Adapun
wudhu’nya wanita dengan air bekas bersucinya laki-laki maka boleh tanpa ada
perbedaan pendapat.
Diterjemahkan
dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah
Tambahan:
Jumhur
ulama dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak mengapa
laki-laki (suami) berwudhu' atau mandi dengan air bekas wudhu'nya wanita
(istri), berdasarkan hadits Maimunah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadits
7 di atas), dan hadits ini lebih shahih dibandingkan hadits 6. Kebanyakan ulama
mendho'ifkan hadits 6, (seperti Imam Bukhori, An Nawawi, Ibnul Qoyyim, dll.) (http://hawaa.elaana.com/show-12290.html)
Namun,
ada juga ulama yang menshahihkan hadits 6 tersebut seperti Syaikh Al Albani di
kitab Shahih Abu Dawud, dishahihkan juga oleh Syaikh Al Bassam (seperti
keterangan di atas). Karena hadits-hadits tersebut shahih, maka sebagian ulama
berusaha menjama' (mengkombinasikan) antar hadiits-hadits tersebut, cara
mengkombinasikannya yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak
berkonsekuensi haram, akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga
kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meniggalkannnya, tetapi jika dia
melakukannya maka tidak mengapa.
Berkata
Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah, "larangan tersebut dimaknai untuk
kebersihan sehingga terjama'lah dalil-dalil yang ada, ketika air lain ada maka
sebaiknya mandi dengannya, tidak dengan air bekas bersuci wanita. Adapun jika
butuh untuk menggunakan air bekas bersuci wanita, maka hilanglah hukum
makruhnya, karena mandi itu wajib dan wudhu juga wajib, tidak ada kemakruhan
ketika kondisinya butuh untuk menggunakan air tersebut. Jika Anda menemukan air
yang banyak, maka lebih baik si laki-laki tidak mandi dengan air bekas wanita,
dan wanita tidak mandi dengan air bekas laki-laki." Demikian juga pendapat
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulllah.
Bisa dibaca lebih lanjut di
: http://islamqa.com/ar/ref/129160
dan http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?p=1083298
Kesimpulan:
Pendapat
yang lebih kuat dalam masalah ini adalah lebih utama bagi seorang laki-laki
(suami) tidak mandi atau berwudhu' dengan air bekas bersuci wanita (istri),
tetapi jika dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa menggunakannya. Wallahu
a'lam.
Rabu, 28 Oktober 2015
Thaharah [Hadits Ke - 6]
HADITS KE-6
وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ
الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ
صَحِيحٌ
Seorang laki-laki yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air
perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air
bersama-sama." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya
benar.
DERAJAT
HADITS:
Hadits ini shahih.
Asy Syaukani berkata yang ringkasnya,
“Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud
meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi
berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhoifan hadits ini”. Ini adalah sisi
celaan.
Adapun yang men-tsiqoh-annya.
At- Tirmidzi berkata, “hadits ini
hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”.
Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul
Bari, “sungguh An Nawawi telah asing ketika menyatakan ijma’ atas kedhoifannya,
padahal perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya).
Dan celaan Al Baihaqi atas mursalnya
hadits ini tertolak, karena mubham (ketidakjelasan) sahabat tidak mengapa.
Celaan Ibnu Hazm atas dhoifnya Hamid Al Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid
bin Abdullah Al Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al Himyari, dan perawi ini
tsiqoh (terpercaya) lagi faqih.
Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di
Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih.
Ibnu Abdil Hadiy berkata di Al
Muharrar, “Al Humaidi menshahihkannya”, dan Al Baihaqi berkata,
“perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya)”.
FAEDAH
HADITS:
1. Larangan bagi laki-laki mandi
dengan air bekas bersuci wanita.
2. Larangan bagi wanita mandi dengan
air bekas bersuci laki-laki.
Yang disyariatkan adalah mandi bersama
dan mengambil air bersama.
Ada hadits di Shahih Bukhori dari Ibnu
Umar bahwa dahulu laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mereka wudhu’ bersama-sama, di dalam riwayat Hisyam bin Ammar dari
Malik berkata, “di dalam satu wadah”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu
Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur lain.
Kemutlakan ini dimuqoyyad (dibatasi)
bahwa maksudnya bukan laki-laki yang asing bagi wanita, akan tetapi maksud dari
laki-laki dan wanita tersebut adalah suami istri, atau orang yang dihalalkan
melihat anggota-anggota wudhu’.
Thaharah [Hadits Ke - 5]
HADITS KE-5
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
لِلْبُخَارِيِّ
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا
يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ وَلِأَبِي
دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ
الْجَنَابَةِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika
dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim.
Menurut Riwayat Imam Bukhari: "Janganlah sekali-kali seseorang
di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia
mandi di dalamnya."
Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah
seseorang mandi junub di dalamnya."
KOSA
KATA:
- Kata الدائم (ad daa-im)
artinya tenang dan diam (tidak mengalir)
- Kata الذي لا يجري (alladzi
laa yajri) = yang tidak mengalir, merupakan penafsiran dari air yang
tenang.
- Kata جنب (junub)
artinya mengalami janabah, yaitu hadats yang diakibatkan oleh hubungan intim
suami-istri atau keluarnya air mani.
- Kata منه (minhu) =
darinya, memberikan makna larangan mengambil air (bekas dikencingi) dari dalam
suatu tempat dan mandi di luar tempat tersebut (tidak mencebur ke dalamnya).
- Kata فيه (fiihi) = di
dalamnya, memberikan makna larangan mencebur (masuk) ke dalam tempat air (bekas
dikencingi) tersebut.
- Kata جنابة (janabah)
adalah sifat bagi orang yang keluar air maninya atau dengan sebab hubungan
intim, sampai ia bersuci.
FAEDAH
HADITS:
1. Larangan mandi janabah di dalam air
yang tenang (tidak mengalir).
2. Larangan berkonsekuensi haram, maka
haram mandi janabah di dalam air yang tenang.
3. Larangan ini (mandi janabah di
dalam air yang tenang) menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang (yaitu
rusaknya air bekas mandi janabah).
4. Larangan kencing di dalam air yang
tenang, kemudian mandi janabah di dalamnya.
5. Larangan berkonsekuensi haram, maka
haram mandi janabah di dalam air yang dikencingi.
6. Larangan ini (mandi janabah di
dalam air yang dikencingi) juga menunjukkan rusaknya yang dilarang (yaitu
rusaknya air bekas dikencingi dan mandi janabah).
7. Secara zhohir, hadits ini tidak
membedakan antara air yang sedikit ataupun banyak.
8. Rusak yang diakibatkan oleh kedua
larangan tersebut adalah rusaknya air, karena menjadi kotor dan menjijikkan
bagi orang-orang yang akan menggunakannya. Dan akan dijelaskan –insyaAllah-
perbedaan pendapat mengenai air musta’mal (air bekas digunakan), apakah
menggunakannya untuk thoharoh (bersuci) akan menghasilkan kesucian atau tidak.
9. Larangan dari kencing atau mandi di
dalam air yang tenang tidak secara mutlak berdasarkan kesepakatan. Air yang sangat
banyak tidak termasuk yang dilarang berdasarkan kesepakatan, dan peng-khusus-an
(air yang sangat banyak) ini dikhususkan oleh ijma’.
10. Imam Ash Shon’ani berkata di
Subulus Salam, “yang sesuai dengan kaidah bahasa arab bahwa yang dilarang di
dalam hadits adalah menggabungkan (kencing kemudian mandi sekaligus), karena
kata ثم (kemudian) tidak memberikan makna sebagaimana yang diberikan oleh wawu
‘athof (= dan), kata ثم memberikan makna gabungan dan berurutan (kencing
kemudian mandi sekaligus di dalam air yang sama).
11. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata,
“larangan menggabungkan (kencing kemudian mandi) diambil dari satu hadits, dan
larangan dari masing-masing (mandi saja atau kencing saja) diambil dari hadits
lain”
Riwayat-riwayat yang ada di bab ini
memberi faedah antara lain:
- Riwayat Muslim: larangan dari mandi
dengan mencebur (masuk) ke dalam air yang tenang, dan larangan mengambil air
bekas dikencingi untuk mandi.
- Riwayat Bukhori: larangan dari
kencing kemudian mandi sekaligus (di dalam air yang diam tersebut).
- Riwayat Abu Dawud: larangan dari
masing-masing (kencing saja atau mandi saja).
Dari seluruh riwayat tersebut
disimpulkan bahwa seluruhnya terlarang, hal ini karena kencing atau mandi di
dalam air yang tenang menyebabkan air kotor dan menjijikkan bagi orang lain
meskipun air tidak sampai najis.
12. Keharaman ini juga berlaku untuk
buang air besar dan istinja’ (mencebok) di dalam air yang tenang yang tidak
mengalir.
13. Haram merugikan orang lain dan
memberikan mudhorot kepada mereka dengan amalan apapun yang tidak diridhoi,
yang lebih besar mudhorotnya daripada manfaatnnya.
PERBEDAAN
PENDAPAT ULAMA:
Para ulama berbeda pendapat apakah
larangan ini berkonsekuensi haram atau makruh.
- Madzhab Malikiyah berpendapat
makruh, karena air tetap dalam keadaan suci.
- Madzhab Hanabilah dan Zhohiriyyah
berpendapat haram.
- Sebagian ulama berpendapat haram
pada air yang sedikit, dan makruh pada air yang banyak.
Secara zhohir, larangan tersebut
hukumnya haram baik pada air yang sedikit maupun banyak, meskipun air tidak
ternajisi, ‘illah (sebab) nya adalah karena kotornya air dan menjijikkan bagi
orang lain.
Peringatan: dikecualikan air
yang sangat banyak (seperti air laut dan danau) berdasarkan kesepakatan
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Diterjemahkan
dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al
Bassam hafizhohullah